Gencatan Senjata Terkoyak: Militer Myanmar Terus Agresi di Tengah Upaya Pemulihan Gempa

Gencatan Senjata Terkoyak: Militer Myanmar Terus Agresi di Tengah Upaya Pemulihan Gempa

Naypyidaw, Myanmar – Janji gencatan senjata yang rapuh di Myanmar, yang seharusnya memberikan ruang bagi upaya kemanusiaan pasca-gempa dahsyat, justru ternoda oleh serangkaian serangan yang dilancarkan oleh militer negara tersebut. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan kekhawatiran mendalam atas eskalasi kekerasan ini, yang mengancam untuk semakin memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah mendalam.

Gempa bumi dahsyat yang mengguncang Myanmar baru-baru ini telah merenggut ribuan nyawa dan menyebabkan kerusakan yang meluas. Sebagai tanggapan terhadap bencana ini, junta militer dan beberapa kelompok oposisi sempat menyepakati gencatan senjata sementara, yang bertujuan untuk memfasilitasi distribusi bantuan dan memungkinkan para pekerja kemanusiaan menjangkau mereka yang membutuhkan. Namun, harapan akan perdamaian dan stabilitas yang singkat pupus dengan cepat.

Kantor Hak Asasi Manusia PBB melaporkan bahwa militer Myanmar telah melancarkan lebih dari 60 serangan sejak gempa bumi terjadi. Serangan-serangan ini, termasuk serangan udara, telah menargetkan berbagai wilayah, bahkan di daerah-daerah yang terkena dampak gempa yang paling parah. James Rodehaver, Kepala Tim Kantor Hak Asasi Manusia PBB untuk Myanmar, menyampaikan kepada wartawan di Jenewa bahwa mereka telah menerima laporan kredibel tentang 16 serangan udara yang sedang berlangsung. Informasi ini menyoroti pelanggaran terang-terangan terhadap kesepakatan gencatan senjata dan kurangnya rasa hormat terhadap kehidupan manusia.

Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Volker Turk, mengutuk keras tindakan militer Myanmar. Beliau mendesak penghentian segera semua operasi militer dan menekankan perlunya akses tanpa hambatan bagi pekerja penyelamat dan organisasi kemanusiaan. Turk menyatakan, "Saya mendesak penghentian semua operasi militer, dan agar fokus diberikan pada bantuan kepada mereka yang terkena dampak gempa, serta memastikan akses tanpa hambatan ke organisasi kemanusiaan yang siap memberikan dukungan."

Konflik multi-pihak di Myanmar telah berlangsung sejak kudeta militer pada tahun 2021, ketika junta yang dipimpin oleh Min Aung Hlaing merebut kekuasaan dari pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi. Sejak saat itu, negara tersebut telah terjerumus ke dalam kekacauan dan kekerasan, dengan laporan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas. Serangan baru-baru ini oleh militer Myanmar semakin memperburuk situasi yang sudah mengerikan dan menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen junta terhadap perdamaian dan stabilitas.

Komunitas internasional harus bersatu untuk mengutuk tindakan militer Myanmar dan menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia. Penting untuk memberikan tekanan diplomatik dan ekonomi yang berkelanjutan pada junta untuk menghentikan kekerasan, menghormati hak asasi manusia, dan terlibat dalam dialog yang berarti dengan semua pihak terkait. Tragedi gempa bumi di Myanmar seharusnya menjadi seruan untuk bertindak, sebuah kesempatan untuk mengakhiri siklus kekerasan dan membuka jalan bagi masa depan yang lebih damai dan sejahtera bagi rakyat Myanmar.

Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu digarisbawahi:

  • Militer Myanmar melanggar gencatan senjata dengan melancarkan puluhan serangan.
  • Serangan-serangan ini menargetkan daerah-daerah yang terkena dampak gempa.
  • PBB mengutuk tindakan militer dan mendesak penghentian segera semua operasi militer.
  • Komunitas internasional harus bersatu untuk mengutuk tindakan militer Myanmar dan menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia.
  • Tragedi gempa bumi di Myanmar seharusnya menjadi seruan untuk bertindak, sebuah kesempatan untuk mengakhiri siklus kekerasan dan membuka jalan bagi masa depan yang lebih damai dan sejahtera bagi rakyat Myanmar.

Volker Turk juga berharap agar tragedi yang mengguncang Myanmar ini dapat menjadi titik balik menuju solusi politik yang lebih inklusif bagi negara tersebut.