Myanmar Berduka: Sagaing Dihantui Bau Mayat dan Trauma Gempa Bumi Dahsyat

Sagaing dalam Bayang-Bayang Maut: Kisah dari Episentrum Gempa Myanmar

Sepekan pasca gempa bumi dahsyat berkekuatan 7,7 magnitudo yang mengguncang Myanmar, tepatnya pada Jumat, 28 Maret lalu, kota Sagaing dan wilayah sekitarnya masih berjuang untuk bangkit dari reruntuhan. Ko Zeyar, seorang pekerja sosial, menjadi saksi bisu atas kehancuran yang melanda kampung halamannya. Perjalanannya dari Mandalay menuju Sagaing, yang biasanya hanya memerlukan waktu kurang dari satu jam, berubah menjadi perjalanan panjang selama 24 jam, melintasi jalanan rusak dan bangunan yang luluh lantak.

Sagaing, yang menjadi pusat gempa, kini diwarnai pemandangan pilu. Meskipun Ko Zeyar bersyukur keluarganya selamat, ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa banyak teman dan kenalannya menjadi korban. Bau mayat yang menyengat menjadi aroma yang tak terhindarkan, menyelimuti kota yang sebagian besar telah rata dengan tanah. Lebih dari 3.000 jiwa dipastikan tewas, namun jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan ditemukannya jenazah-jenazah yang masih tertimbun di bawah reruntuhan.

Warga yang selamat kini hidup dalam kondisi memprihatinkan. Penguburan massal menjadi satu-satunya cara untuk memakamkan para korban dengan cepat. Sementara itu, antrean panjang mengular di pusat-pusat bantuan, di mana para penyintas berusaha mendapatkan makanan dan air bersih. Banyak dari mereka terpaksa tidur di tempat terbuka, hanya beralaskan tikar, berjuang melawan gigitan nyamuk dan panas terik yang mencapai 37 derajat Celcius. Trauma akibat gempa juga terus menghantui, diperparah dengan gempa susulan yang terus mengguncang wilayah tersebut.

"Hampir seluruh kota tinggal dan tidur di jalan, peron, atau lapangan sepak bola, termasuk saya sendiri karena itu menakutkan," ujar Ko Zeyar.

Ketakutan akan runtuhnya bangunan membuat banyak orang enggan untuk tidur di dalam rumah. Ko Zeyar sendiri mengaku memilih tidur di dekat pintu agar bisa segera melarikan diri jika terjadi gempa susulan. Kondisi ini semakin memperburuk krisis kemanusiaan yang tengah melanda Myanmar.

Krisis Multidimensional: Gempa Memperparah Luka Lama

Gempa bumi ini menjadi pukulan telak bagi Myanmar, negara yang telah lama bergulat dengan kemiskinan dan konflik internal. Hampir 20 juta orang di negara tersebut telah membutuhkan bantuan kemanusiaan akibat perang saudara yang berkecamuk selama empat tahun terakhir. Kudeta militer pada tahun 2021, yang dipimpin oleh Min Aung Hlaing, memicu konflik berkepanjangan antara junta militer dan kelompok-kelompok pro-demokrasi serta kelompok etnis bersenjata.

Konflik yang berkepanjangan ini telah menguras sumber daya negara dan melemahkan infrastruktur, termasuk sistem kesehatan. Akibatnya, respons terhadap gempa bumi menjadi terhambat. Kerusakan parah pada jalan-jalan dan jembatan yang menghubungkan kota dan desa terpencil memperlambat upaya penyelamatan dan pengiriman bantuan, termasuk alat-alat berat yang diperlukan untuk membersihkan reruntuhan.

"Misi penyelamatan atau bantuan tidak dapat segera tiba di Sagaing. Jembatan-jembatan yang menghubungkan Sagaing rusak parah. Itulah sebabnya, banyak yang kehilangan nyawa. Sudah terlambat untuk menyelamatkan orang-orang ketika bantuan tiba," kata Ko Zeyar, menggambarkan betapa sulitnya situasi di lapangan.

Sekitar 80% kota Sagaing, ibu kota wilayah tersebut, mengalami kerusakan akibat gempa. Kerusakan juga meluas ke seluruh pedesaan di sekitarnya. Bantuan internasional sangat dibutuhkan untuk membantu Myanmar mengatasi krisis kemanusiaan ini dan membangun kembali infrastruktur yang hancur. Dunia internasional diharapkan dapat memberikan dukungan penuh kepada rakyat Myanmar yang tengah berduka dan berjuang untuk bangkit dari keterpurukan.

Dampak Kerusakan Gempa * 80% kota Sagaing rusak parah. * Jalan dan jembatan penghubung desa dan kota terputus. * Sistem kesehatan lumpuh.

Kebutuhan Mendesak * Makanan dan air bersih. * Tempat tinggal sementara. * Bantuan medis. * Peralatan berat untuk membersihkan reruntuhan.

Kondisi Penyintas * Tidur di tempat terbuka karena takut gempa susulan. * Trauma psikologis. * Kekurangan akses air bersih dan sanitasi. * Terpapar suhu ekstrem dan gigitan nyamuk.