Rangkapan Jabatan Menteri dan Wakil Menteri: Melanggar Konstitusi dan Semangat Reformasi
Fenomena rangkap jabatan oleh menteri dan wakil menteri kembali menjadi sorotan tajam, memicu perdebatan mengenai etika, legalitas, dan dampaknya terhadap tata kelola pemerintahan yang baik. Praktik ini, di mana seorang pejabat publik menduduki lebih dari satu posisi strategis, dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi dan semangat reformasi yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme.
Konflik Kepentingan dan Pelanggaran Konstitusi
Rangkapan jabatan, terutama ketika melibatkan posisi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), membuka peluang terjadinya konflik kepentingan. Seorang menteri yang juga menjabat sebagai komisaris atau direksi BUMN dapat dihadapkan pada situasi di mana kepentingan pribadi atau kelompoknya bertentangan dengan kepentingan negara dan masyarakat luas. Hal ini dapat mengarah pada pengambilan keputusan yang bias, tidak adil, dan merugikan.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah secara tegas menyatakan bahwa rangkap jabatan oleh menteri dan wakil menteri melanggar konstitusi. Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 menegaskan bahwa larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri juga berlaku bagi wakil menteri. Tujuannya adalah agar para pejabat fokus pada tugas dan tanggung jawab utama mereka di kementerian, tanpa terbebani oleh kepentingan lain yang dapat mengganggu kinerja.
Beberapa contoh yang menjadi sorotan:
- Menteri Investasi/Kepala BKPM yang juga menjabat sebagai CEO Danantara.
- Menteri BUMN dan Menteri Keuangan yang menduduki posisi di Dewan Pengawas Danantara.
- Wakil Menteri ESDM sebagai Komisaris Bank Mandiri.
- Wakil Menteri BUMN sebagai Komisaris Utama BRI.
- Wakil Menteri UMKM sebagai Komisaris BRI.
- Wakil Menteri Perumahan Rakyat sebagai Komisaris BTN.
Bertentangan dengan Semangat Reformasi
Lebih jauh, rangkap jabatan juga bertentangan dengan semangat reformasi yang mengedepankan prinsip anti-nepotisme dan anti-kolusi. Praktik ini dapat dianggap sebagai bentuk lain dari kolusi dan nepotisme yang membahayakan penyelenggaraan negara. UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih, Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme mengamanatkan setiap penyelenggara negara untuk taat asas dan norma, serta tidak memegang jabatan yang menimbulkan konflik kepentingan.
Asas-asas penyelenggaraan negara yang dilanggar oleh praktik rangkap jabatan:
- Asas Kepastian Hukum
- Asas Tertib Penyelenggaraan Negara
- Asas Kepentingan Umum
- Asas Keterbukaan
- Asas Proporsionalitas
- Asas Profesionalitas
- Asas Akuntabilitas
Seruan untuk Presiden
Melihat implikasi negatif dari rangkap jabatan, muncul seruan kepada Presiden untuk mengambil tindakan tegas. Presiden diharapkan dapat memberhentikan menteri dan wakil menteri yang merangkap jabatan, baik dari jabatan di kementerian maupun di BUMN. Langkah ini akan menjadi contoh ketaatan pada konstitusi dan UU, serta menunjukkan komitmen pemerintah terhadap tata kelola pemerintahan yang bersih dan profesional. Presiden wajib tunduk dan patuh pada konstitusi dalam kata dan perbuatan.
Rangkap jabatan menciptakan pelayanan pemerintahan yang tidak profesional, tidak proporsional dalam menjalankan tugas dan kewajiban, jauh dari profesionalitas dan kurangnya akuntabilitas.