Gelombang Protes Anti-Trump Melanda AS dan Eropa, Menentang Kebijakan Kontroversial

Gelombang Protes Anti-Trump Melanda AS dan Eropa, Menentang Kebijakan Kontroversial

Ribuan warga di berbagai kota besar di Amerika Serikat dan Eropa turun ke jalan, menyuarakan penentangan terhadap kebijakan-kebijakan Presiden Donald Trump yang dianggap kontroversial. Aksi demonstrasi ini menjadi yang terbesar sejak Trump kembali menduduki Gedung Putih, mencerminkan meningkatnya kekhawatiran publik terhadap arah kebijakan pemerintahan saat ini.

Demonstrasi serentak ini, yang terjadi pada hari Sabtu (5/4) waktu setempat, dipicu oleh berbagai isu, mulai dari pemangkasan anggaran pemerintah, kebijakan perdagangan yang agresif, hingga erosi kebebasan sipil. Para pengunjuk rasa, yang berasal dari beragam latar belakang dan usia, berkumpul di pusat-pusat kota besar seperti Washington D.C., New York, Los Angeles, Denver, London, dan Berlin.

Di jantung kota Manhattan, New York, seorang pelukis bernama Shaina Kesner mengungkapkan kemarahannya terhadap kebijakan yang dianggapnya tidak adil. "Saya sangat marah, sepanjang waktu. Sekelompok pemerkosa kulit putih yang memiliki hak istimewa mengendalikan negara kita. Itu tidak bagus," ujarnya, mencerminkan sentimen banyak demonstran yang merasa terpinggirkan dan tidak terwakili.

Di Washington D.C., ribuan orang berkumpul di National Mall, membawa spanduk dan poster yang mengecam kebijakan Trump. Diane Kolifrath, seorang pemandu wisata sepeda berusia 64 tahun, datang dari New Hampshire bersama rombongan 100 orang. "Kami datang untuk memprotes pemerintahan yang keterlaluan ini, yang menyebabkan kita kehilangan sekutu di seluruh dunia, dan menyebabkan kehancuran bagi orang-orang di sini di tanah air," tegasnya.

Aksi protes juga diwarnai dengan kreativitas. Di Los Angeles, seorang wanita mengenakan kostum ala karakter dari novel dystopian "The Handmaid's Tale," membawa bendera besar bertuliskan "Keluar dari rahimku," sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan anti-aborsi Trump. Sementara di Denver, seorang pengunjuk rasa mengangkat plakat bertuliskan "Tidak ada raja untuk AS," menyuarakan kekhawatiran terhadap potensi otoritarianisme.

Solidaritas dengan para pengunjuk rasa di Amerika Serikat juga tampak di Eropa. Di London, Liz Chamberlin, seorang warga negara AS-Inggris, menyatakan bahwa "Apa yang terjadi di Amerika adalah masalah semua orang. Itu kegilaan ekonomi... Dia akan mendorong kita ke dalam resesi global." Senada dengan itu, di Berlin, Susanne Fest, seorang pensiunan berusia 70 tahun, menuduh Trump telah menciptakan "krisis konstitusional," dan menyebutnya "gila."

Aksi demonstrasi ini bukan hanya sekadar ekspresi kemarahan, tetapi juga panggilan untuk perubahan. Para pengunjuk rasa berharap, melalui aksi mereka, para pembuat kebijakan akan lebih memperhatikan aspirasi rakyat dan mempertimbangkan kembali kebijakan-kebijakan yang merugikan.

Berikut adalah poin-poin penting yang disuarakan dalam demonstrasi:

  • Penolakan terhadap kebijakan perdagangan yang agresif: Para pengunjuk rasa khawatir kebijakan ini akan memicu perang dagang dan merugikan ekonomi global.
  • Kecaman terhadap pemangkasan anggaran pemerintah: Mereka berpendapat bahwa pemangkasan ini akan berdampak negatif pada layanan publik dan program sosial.
  • Penolakan terhadap kebijakan anti-aborsi: Para pengunjuk rasa membela hak-hak reproduksi perempuan dan menentang upaya pembatasan akses terhadap aborsi.
  • Kekhawatiran terhadap erosi kebebasan sipil: Mereka menentang kebijakan yang dianggap mengancam kebebasan berekspresi dan hak-hak sipil lainnya.
  • Seruan untuk solidaritas global: Para pengunjuk rasa menekankan pentingnya kerjasama internasional untuk mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim dan ketidaksetaraan ekonomi.

Gelombang protes ini menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan Presiden Trump menghadapi penolakan yang luas, baik di dalam maupun di luar negeri. Aksi demonstrasi ini menjadi momentum penting bagi gerakan perlawanan dan dapat memengaruhi arah kebijakan pemerintahan di masa depan.