Daftar Negara yang Terimbas Kebijakan Tarif Impor Terbaru AS: Analisis Dampak dan Respon Global

Gelombang Tarif Impor AS Guncang Pasar Global: Negara Mana Saja yang Paling Terpengaruh?

Kebijakan tarif impor terbaru yang diumumkan oleh Amerika Serikat (AS) telah memicu kekhawatiran akan perang dagang global. Dampak dari kebijakan ini tidak merata, dengan beberapa negara menghadapi tarif yang jauh lebih tinggi daripada yang lain. Analisis mendalam mengungkapkan negara-negara mana saja yang paling rentan dan bagaimana mereka berpotensi merespon.

Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan pemberlakuan tarif baru pada semua impor ke AS. Dari kebijakan tersebut terdapat sekitar 60 negara yang dikenakan tarif lebih tinggi. Keputusan ini dipicu oleh tujuan untuk menyeimbangkan neraca perdagangan dan melindungi industri dalam negeri AS. Namun, para ahli memperingatkan bahwa langkah ini dapat memicu pembalasan dari negara-negara lain, yang berpotensi mengganggu rantai pasokan global dan menghambat pertumbuhan ekonomi.

Negara-Negara dengan Tarif Tertinggi

Berikut adalah daftar 20 negara yang menghadapi tarif impor tertinggi berdasarkan kebijakan terbaru AS:

  • Reunion: 73 persen
  • Lesotho: 50 persen
  • Saint Pierre dan Miquelon: 50 persen
  • Kamboja: 49 persen
  • Madagaskar: 47 persen
  • Laos: 48 persen
  • Vietnam: 46 persen
  • Srilanka: 44 persen
  • Myanmar: 44 persen
  • Kepulauan Falkland: 41 persen
  • Suriah: 41 persen
  • Mauritius: 40 persen
  • Irak: 39 persen
  • Guyana: 38 persen
  • Bangladesh: 37 persen
  • Serbia: 37 persen
  • Botswana: 37 persen
  • Liechtenstein: 37 persen
  • Thailand: 36 persen
  • China: 34 persen

Negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Laos, dan Kamboja secara signifikan akan terpengaruh karena mereka sangat bergantung pada ekspor barang-barang konsumen, mesin, peralatan listrik, dan tekstil ke AS. Tarif yang lebih tinggi dapat menyebabkan penurunan ekspor, hilangnya pekerjaan, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ini.

Mekanisme "Tarif Timbal Balik"

Pemerintahan Trump memberlakukan tarif ini sebagai "tarif timbal balik," yang didasarkan pada tarif yang dikenakan mitra dagang ke AS, yang disesuaikan dengan manipulasi mata uang dan hambatan perdagangan lainnya. Perhitungan tarif timbal balik mengikuti formula sederhana: defisit neraca perdagangan suatu negara dengan AS dibagi dengan ekspornya ke AS, lalu dibagi dua.

Contohnya, defisit neraca perdagangan AS dengan China pada tahun 2024 adalah $295,4 miliar, dan AS mengimpor barang-barang China senilai $439,9 miliar. Surplus perdagangan China dengan Amerika Serikat adalah 67% dari nilai ekspornya. Setengah dari tarif 67% itu adalah tarif timbal balik 34% yang ditetapkan untuk China.

Pengecualian dan Dampak yang Luas

Meksiko dan Kanada dikecualikan dari daftar tarif baru ini, tetapi tarif yang sudah ada sebesar 25% atas ekspor mereka ke AS yang tidak mematuhi Perjanjian AS-Meksiko-Kanada (USMCA) tetap berlaku. Energi dan kalium Kanada menghadapi tarif 10%.

Kebijakan tarif baru ini diperkirakan akan berdampak luas pada ekonomi global. Kenaikan harga barang-barang impor dapat menyebabkan inflasi di AS, sementara penurunan ekspor dapat merugikan negara-negara yang bergantung pada pasar AS. Perang dagang yang berkepanjangan dapat mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan ketidakpastian yang lebih besar.

Respon dan Antisipasi

Negara-negara yang terkena dampak diperkirakan akan mempertimbangkan berbagai opsi respon, termasuk:

  • Mengajukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
  • Menerapkan tarif balasan pada barang-barang AS.
  • Mencari pasar ekspor alternatif.
  • Bernegosiasi dengan AS untuk mencapai kesepakatan perdagangan yang lebih menguntungkan.

Waktu akan membuktikan bagaimana kebijakan tarif baru ini akan memengaruhi ekonomi global. Penting untuk memantau perkembangan dan menganalisis dampak dari kebijakan ini terhadap bisnis dan konsumen.

Tarif impor dasar 10 persen mulai berlaku pada Sabtu, 5 April 2025, dan tarif yang lebih tinggi akan mulai berlaku pada 9 April 2025.