Industri Tekstil Nasional Terancam Serangan Impor Akibat Kebijakan Proteksi AS
Industri Tekstil Nasional di Ambang Krisis Impor Akibat Kebijakan Perdagangan AS
Kebijakan proteksi perdagangan yang diterapkan oleh Amerika Serikat (AS) berpotensi memicu banjir impor tekstil murah ke Indonesia, mengancam keberlangsungan industri tekstil dalam negeri. Langkah AS yang menerapkan tarif impor tinggi terhadap produk tekstil dari negara-negara tertentu, mendorong produsen tekstil dari negara-negara tersebut untuk mencari pasar alternatif, dan Indonesia menjadi salah satu target potensial.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, mengungkapkan kekhawatiran mendalam mengenai dampak kebijakan AS terhadap industri tekstil nasional. Menurutnya, kebijakan ini akan memicu perubahan signifikan dalam peta perdagangan tekstil global. Negara-negara produsen tekstil besar seperti China, Vietnam, India, Bangladesh, Myanmar, dan Kamboja akan berupaya mengalihkan ekspor mereka ke negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Permohonan API kepada Pemerintah
Guna melindungi industri tekstil dalam negeri dari serbuan impor, API mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah strategis. Dalam konferensi pers bersama Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI), API menyampaikan beberapa rekomendasi utama:
- Mempertahankan Kebijakan Persetujuan Teknis Impor: API meminta pemerintah untuk tetap memberlakukan kebijakan persetujuan teknis sebagai salah satu cara untuk mengendalikan dan memantau impor tekstil.
- Mempertahankan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN): Upaya mempertahankan dan meningkatkan penggunaan komponen lokal dalam produksi tekstil sangat penting untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan daya saing industri dalam negeri.
- Respons Tarif yang Tepat: Pemerintah perlu merespons perang tarif dengan kebijakan tarif yang cerdas, bukan dengan melonggarkan Non-Tariff Measures (NTM) atau Non-Tariff Barriers (NTB). Kebijakan yang tepat sasaran akan membantu melindungi industri padat karya yang vital bagi penyerapan tenaga kerja dan peningkatan daya beli masyarakat.
Jemmy menambahkan, ekspor tekstil Indonesia ke AS masih dapat dilakukan dengan tarif yang menguntungkan jika industri dalam negeri meningkatkan penggunaan bahan baku dari AS, khususnya kapas. Meskipun AS tidak dapat menyediakan benang dan kain dalam jumlah yang cukup, Indonesia dapat mengoptimalkan impor kapas AS dan mengkombinasikannya dengan serat polyester dan rayon yang diproduksi di dalam negeri. Strategi ini diharapkan dapat memperbaiki kinerja industri tekstil secara keseluruhan, dari hulu hingga hilir, sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor barang jadi.
Tata Kelola Impor-Ekspor yang Perlu Dibenahi
API juga menyoroti pentingnya perbaikan tata kelola impor dan ekspor di Indonesia. Terindikasi adanya kelemahan dalam penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO), yang berpotensi disalahgunakan untuk praktik transshipment. Dalam beberapa tahun terakhir, diduga terjadi praktik transshipment, di mana barang-barang dari China diekspor ke AS menggunakan SKA Indonesia. Hal ini terlihat dari lonjakan ekspor benang texture filament polyester dari Indonesia ke AS yang dianggap tidak wajar. Lonjakan ekspor ini disinyalir dilakukan oleh trader, bukan oleh produsen. Dampaknya, seluruh produsen Indonesia terkena Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) oleh AS.
Untuk mencegah masalah ini di masa depan, API meminta pemerintah untuk menertibkan penerbitan SKA. SKA seharusnya hanya diterbitkan untuk barang-barang yang benar-benar diproduksi di Indonesia, bukan untuk praktik transshipment. Penertiban ini penting untuk menjaga kredibilitas industri tekstil Indonesia di pasar internasional dan mencegah kerugian yang lebih besar.
Kondisi Industri TPT Nasional
Dalam kondisi normal, industri TPT Indonesia mengkonsumsi sekitar US$ 600 juta kapas dari AS. Namun, ironisnya, Indonesia justru mengimpor benang, kain, dan garmen senilai US$ 6,5 miliar dari China. Hal ini menyebabkan persaingan tidak sehat dan menekan utilisasi mesin produksi industri TPT dalam negeri, yang saat ini hanya mencapai sekitar 45%.
API mendorong pemerintah untuk melakukan negosiasi resiprokal dengan AS agar Indonesia dapat mengimpor lebih banyak kapas sebagai trade off, sekaligus mendorong importasi produk-produk AS yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri.