Tarif Trump Ancam Harga iPhone: Analis Prediksi Lonjakan Hingga Rp 38 Juta

Kebijakan Tarif Trump Bayangi Harga iPhone: Konsumen Terancam Merogoh Kocek Lebih Dalam

Gelombang kebijakan tarif baru yang diterapkan oleh mantan Presiden AS, Donald Trump, terhadap berbagai negara produsen, termasuk basis manufaktur penting bagi Apple seperti China, India, Vietnam, dan Malaysia, telah mengguncang raksasa teknologi asal Cupertino tersebut. Langkah ini secara signifikan mengganggu upaya diversifikasi rantai pasokan Apple yang bertujuan untuk mengurangi risiko geopolitik dan dampak pandemi global.

Reaksi pasar pun tak terelakkan. Saham Apple mengalami penurunan tajam, mencapai lebih dari 9% pada hari Kamis lalu, menghapus kapitalisasi pasar senilai lebih dari US$ 300 miliar. Penurunan harian ini menjadi yang terburuk sejak Maret 2020, menandakan kekhawatiran mendalam di kalangan investor.

Analis dari Morgan Stanley, Erik Woodring, menyoroti dampak luas dari kebijakan ini. "Ketika Anda melihat tarif yang dikenakan pada negara-negara seperti Vietnam, India, dan Thailand, tempat Apple secara aktif mendiversifikasi rantai pasokannya, hampir tidak ada celah untuk menghindar," ujarnya.

Apple telah mengambil langkah-langkah strategis untuk memindahkan sebagian produksi iPhone ke India, memproduksi AirPods di Vietnam, dan merakit desktop Mac di Malaysia. Namun, dengan penerapan tarif yang luas, semua negara ini kini berada dalam jangkauan kebijakan tersebut, menimbulkan tantangan baru bagi Apple.

Beban Tarif Mendorong Potensi Kenaikan Harga

Besaran tarif yang dikenakan oleh pemerintahan Trump sangat signifikan. China menghadapi tarif sebesar 54%, setelah akumulasi dengan tarif tambahan sebesar 34% yang diberlakukan pada Januari lalu. India dikenai tarif 26%, Vietnam 46%, dan Malaysia 25%. Beban tarif ini berpotensi memaksa Apple untuk menaikkan harga produknya di pasar AS antara 17% hingga 18% untuk mengkompensasi biaya tambahan. Konsekuensinya, para analis memperkirakan lonjakan harga iPhone yang signifikan.

"Dalam kondisi seperti ini, kita harus mempertimbangkan skenario terburuk," tegas Erik Woodring, menggarisbawahi perlunya mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk.

Prediksi Harga iPhone Tembus Rp 38 Juta

Mengingat sebagian besar dari 200 juta unit iPhone yang diproduksi setiap tahun dirakit di China, dampak tarif yang berkelanjutan dapat menyebabkan kenaikan harga yang dramatis. Analis dari Wedbush, Dan Ives, memprediksi bahwa harga iPhone terbaru dapat mencapai US$ 2.300, setara dengan sekitar Rp 38 juta. Bahkan, iPhone 16e yang saat ini dijual seharga US$ 600 berpotensi mengalami kenaikan harga menjadi US$ 858.

"Ini adalah strategi yang sangat berisiko, terutama mengingat konsumen saat ini sedang merasakan dampak inflasi dan tekanan harga yang meningkat," tulis Dan Ives, memperingatkan tentang potensi reaksi negatif dari konsumen.

Apple kini dihadapkan pada dilema sulit: menanggung beban tarif secara internal atau membebankannya kepada konsumen, yang berpotensi berdampak negatif pada volume penjualan. Keputusan yang diambil akan memiliki implikasi besar bagi kinerja keuangan perusahaan dan posisinya di pasar.

Ketergantungan Produksi di Asia Tetap Tinggi

Terlepas dari upaya diversifikasi, sebagian besar produksi Apple masih terkonsentrasi di China, India, Vietnam, dan negara-negara Asia lainnya. Apple sebelumnya telah memperingatkan bahwa kebijakan tarif dapat mempengaruhi bisnisnya, menyebabkan kenaikan harga, dan bahkan berpotensi menghentikan produksi beberapa produk.

Menurut data dari Evercore ISI, sekitar 80% kapasitas produksi Apple berasal dari China. Sekitar 90% iPhone dan 55% produk Mac dirakit di negara tersebut. Sementara itu, 80% iPad juga diproduksi di pabrik-pabrik di China.

India saat ini menyumbang 10%-15% produksi iPhone, dengan target ambisius untuk mencapai 25% secara global pada akhir tahun 2025. Di Vietnam, 20% iPad dan 90% perangkat wearable Apple seperti Apple Watch dirakit di sana.

Malaysia dan Thailand juga memainkan peran penting dalam produksi Mac, masing-masing dikenai tarif 25% dan 36%. Komponen penting lainnya berasal dari Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan AS, yang biasanya dikirim ke negara perakitan akhir.

Rencana Produksi di AS Masih Terbatas

Pemerintahan Trump menyatakan bahwa tujuan dari penerapan tarif adalah untuk mendorong kembalinya manufaktur ke AS. Trump bahkan secara eksplisit menyebut Apple dalam pernyataannya, menyatakan bahwa "mereka akan membangun pabrik di sini." Namun, realitasnya, investasi Apple sebesar US$ 500 miliar di AS sebagian besar berupa pembelian suku cadang dan chip dari pemasok domestik.

Saat ini, Apple hanya memproduksi Mac Pro di Texas, sementara produk dengan volume tinggi masih dirakit di luar negeri. Dan Ives dari Wedbush memperkirakan bahwa "akan dibutuhkan waktu tiga tahun dan investasi sebesar US$ 30 miliar hanya untuk memindahkan 10% dari rantai pasokannya ke AS, dan itu pun akan disertai dengan gangguan yang signifikan."

Apple juga telah mengumumkan rencana untuk membangun pabrik baru untuk server kecerdasan buatan di Texas pada Februari lalu. Namun, hingga saat ini, produksi massal belum dilakukan di AS, menyoroti tantangan kompleks dalam memindahkan operasi manufaktur secara signifikan.