JPPI Kritik Lambannya Penanganan Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Oknum Guru Besar UGM
Kasus Kekerasan Seksual di UGM: JPPI Desak Tindakan Tegas dan Transparan
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyuarakan kekecewaannya atas lambatnya penanganan kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan seorang guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Edy Meiyanto. Kasus yang mencuat sejak 2023 ini dinilai JPPI membutuhkan respons yang lebih cepat dan tegas dari pihak universitas dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
"Kami melihat penanganan kasus ini terkesan berlarut-larut. Kejadiannya sudah sejak 2023, namun mengapa sanksi baru akan dijatuhkan tahun ini?" ujar Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI, dalam keterangannya kepada media, Minggu (6/4/2025). Ia menambahkan, UGM memang telah menunjukkan langkah progresif dalam melindungi korban dan melakukan penindakan administratif, namun hal ini saja tidak cukup. Menurutnya, kolaborasi erat dengan aparat penegak hukum sangat krusial untuk memproses kasus ini secara pidana. Selain itu, sinkronisasi kebijakan dengan Kemendikbudristek juga diperlukan untuk memastikan sanksi yang diberikan memberikan efek jera yang maksimal dan mencegah terulangnya kasus serupa di lingkungan kampus.
Ubaid Matraji secara tegas menyatakan bahwa pelaku, dalam hal ini Edy Meiyanto, layak untuk dipecat dari jabatannya sebagai guru besar. "Pemecatan adalah langkah yang harus diambil, dan prosesnya tidak boleh bertele-tele. Tindakan kekerasan seksual adalah tindakan biadab dan tidak bermoral, apalagi dilakukan oleh seorang guru besar yang seharusnya menjadi teladan," tegasnya.
Lebih lanjut, Ubaid menyoroti peran Kemendikbudristek dalam kasus ini. Ia mengingatkan bahwa UGM tidak memiliki kewenangan penuh untuk mencopot status guru besar seseorang, karena pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan wewenang Kemendikbudristek. "Menurut hemat kami, gelar guru besar yang bersangkutan juga harus dicabut. Kasus ini sangat memalukan dan mencoreng nama baik universitas," imbuhnya.
JPPI juga menekankan pentingnya transparansi dalam penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Ubaid Matraji menuturkan bahwa kasus ini seharusnya bisa diproses dengan lebih cepat dan efisien. Publikasi sanksi yang diberikan kepada pelaku dan dukungan penuh terhadap korban untuk melaporkan kasus ini ke jalur hukum adalah kunci untuk menciptakan efek jera dan memberikan rasa aman bagi seluruh civitas akademika.
Kronologi Kasus dan Sanksi yang Menanti
Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan Edy Meiyanto pertama kali mencuat pada tahun 2023 dan dilaporkan secara resmi pada tahun 2024. Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UGM kemudian melakukan investigasi mendalam terhadap laporan tersebut. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Satgas PPKS menyimpulkan bahwa Edy Meiyanto terbukti melanggar Pasal 3 ayat 2 Peraturan Rektor UGM No 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di UGM.
Sekretaris UGM, Andi Sandi, menjelaskan bahwa laporan dari Satgas PPKS telah diterima oleh pihak rektorat pada akhir tahun 2024. "Keputusan Rektor menyebutkan bahwa yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sedang hingga berat," ujarnya.
Adapun sanksi sedang hingga berat yang dimaksud meliputi skorsing hingga pemberhentian tetap dari UGM. Pihak UGM saat ini tengah mempertimbangkan sanksi yang paling sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Edy Meiyanto. Kasus ini menjadi sorotan publik dan diharapkan dapat menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran dan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus.