Efisiensi Anggaran Pemerintah Picu Dampak Domino: Hotel Gulung Tikar, Ekonomi Daerah Terancam
Dalam lanskap ekonomi Indonesia yang unik, di mana daya beli masyarakat tertekan dan investasi asing masih tertinggal, belanja pemerintah menjadi tumpuan utama penggerak roda perekonomian. Namun, kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah sejak akhir 2024 memicu gelombang dampak yang merugikan, terutama bagi sektor perhotelan dan UMKM daerah.
Pengetatan anggaran ini bukan sekadar persoalan angka-angka dalam RKA-K/L (Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga), melainkan juga penanda berakhirnya era kemudahan bagi sektor-sektor yang selama ini menggantungkan diri pada kucuran dana pemerintah. Penutupan Sahira Butik Hotel Paledang dan Sahira Butik Hotel Pakuan di Bogor pada 29 Maret 2025 menjadi simbol nyata dari fenomena yang lebih luas, mengulang kejadian serupa pada 2014 ketika larangan rapat dan seminar PNS di hotel menyebabkan puluhan hotel di daerah gulung tikar.
Ketergantungan Ekonomi pada Belanja Pemerintah
Ekonomi Indonesia memiliki struktur yang khas, dengan konsumsi rumah tangga sebagai kontributor terbesar PDB (Produk Domestik Bruto). Namun, di tengah stagnasi konsumsi dan investasi yang belum optimal, belanja pemerintah memainkan peran krusial dalam menjaga momentum ekonomi. Lebih dari sekadar pembelian barang dan jasa, belanja pemerintah menciptakan efek domino yang melibatkan berbagai sektor, mulai dari perhotelan, transportasi, katering, hingga UMKM lokal.
Ketika kementerian menyelenggarakan rapat koordinasi nasional di hotel, dampaknya meluas hingga ke penyedia konsumsi, rental mobil, kru dokumentasi, bahkan pedagang kopi sachet di pinggir jalan. Seminar yang diadakan di hotel tidak hanya menjual kamar, tetapi juga ruang interaksi, pertukaran ide, dan transaksi bisnis. Dalam ekosistem ini, pemerintah menjadi pelanggan utama bagi banyak sektor ekonomi.
Data BPS tahun 2022 menunjukkan bahwa kontribusi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi mencapai 9,5 persen. Meskipun relatif kecil dibandingkan konsumsi rumah tangga, dampaknya sangat signifikan secara sektoral, terutama di sektor konstruksi, perhotelan, transportasi, dan jasa lainnya. Sektor MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition), misalnya, sangat bergantung pada anggaran lembaga pemerintah dan BUMN. Di banyak kota, keberadaan hotel ditopang oleh rombongan dinas dari pusat dan daerah yang datang untuk rapat kerja, sosialisasi kebijakan, bimtek, atau evaluasi tahunan.
Dampak Pengetatan Anggaran
Pengetatan anggaran pemerintah sejak kuartal terakhir 2024 mengakibatkan penurunan tingkat hunian hotel secara nasional dari rata-rata 53 persen pada awal 2024 menjadi 38 persen pada awal 2025, menurut data PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia). Penutupan Sahira Butik Hotel menjadi contoh nyata dari dampak yang lebih luas.
Laporan World Bank dalam Indonesia Economic Prospect Report edisi Desember 2023 mencatat bahwa sekitar 70 persen proyek infrastruktur di Indonesia masih dibiayai oleh anggaran negara, bukan swasta. Bahkan sektor pendidikan dan kesehatan pun bergantung pada APBN/APBD. Hal ini menunjukkan ketergantungan struktural ekonomi Indonesia pada belanja negara.
Mencari Solusi: Transformasi Ekonomi yang Berkelanjutan
Untuk mengatasi ketergantungan ini, pemerintah perlu bertransformasi dari penopang tunggal menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi. Langkah-langkah yang perlu diambil meliputi:
- Menciptakan Iklim Usaha yang Kondusif: Melanjutkan deregulasi, mempermudah perizinan, dan mereformasi sistem fiskal untuk menarik investasi swasta. Data BKPM menunjukkan bahwa realisasi investasi pada Januari-Maret 2025 hanya tumbuh 3,2 persen secara tahunan, mengindikasikan perlunya perbaikan iklim usaha.
- Mentransformasi Sektor MICE: Mendorong pemanfaatan teknologi digital dan hybrid event tanpa mematikan potensi sektor jasa. Memberikan insentif bagi hotel untuk beralih fungsi sebagian ruangnya menjadi coworking space, inkubator UMKM, atau pusat pelatihan vokasi.
- Mengoptimalkan Pariwisata: Mengurangi ketergantungan pada anggaran pemerintah sebagai sumber utama pendapatan hotel. Membenahi infrastruktur, memperbarui atraksi wisata, dan meningkatkan promosi untuk menarik wisatawan.
- Mengoptimalkan APBN/APBD: Memastikan bahwa belanja publik menciptakan efek pengganda (multiplier effect), bukan hanya efek semu. Menerapkan kebijakan yang mewajibkan setiap belanja barang/jasa menyertakan komponen pemberdayaan ekonomi lokal, dari katering hingga penginapan.
Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat membangun ekosistem ekonomi yang lebih mandiri dan tidak mudah terpuruk hanya karena perubahan kebijakan anggaran. Di masa depan, hotel-hotel diharapkan dapat berkembang bukan karena “orang dinas datang rapat,” melainkan karena daya beli masyarakat yang kuat, investasi yang aman, dan minat wisatawan untuk tinggal lebih lama.
Penutupan dua hotel di Bogor hanyalah gejala kecil dari masalah yang lebih besar: bahwa dalam ekonomi Indonesia saat ini, pemerintah bukan hanya pemimpin, tetapi juga pelanggan terbesar. Dan ketika pelanggan itu memutuskan untuk berhenti membeli, seluruh pasar pun ikut merasakan dampaknya.