Lebaran Ketupat: Simbol Permohonan Maaf dan Pelengkap Kemenangan di Jawa

Lebaran Ketupat: Tradisi Jawa yang Sarat Makna

Masyarakat Jawa memiliki tradisi unik yang disebut Lebaran Ketupat, dirayakan seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri. Perayaan ini bukan sekadar pesta kuliner, melainkan juga mengandung filosofi mendalam dan menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Islam Jawa.

Lebaran Ketupat, yang tahun ini jatuh pada tanggal yang diperkirakan sekitar tanggal 7 April 2025 (berdasarkan konteks berita), merupakan momen di mana keluarga berkumpul, bersilaturahmi, dan menikmati hidangan khas ketupat dan opor ayam. Tradisi ini seringkali diramaikan dengan acara reuni keluarga atau bahkan hajatan.

Asal Usul dan Sejarah Lebaran Ketupat

Menurut catatan sejarah dari NU Online, Lebaran Ketupat diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, salah satu tokoh Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Pada masa itu, masyarakat Jawa terbiasa dengan tradisi slametan. Sunan Kalijaga kemudian mengadaptasi tradisi ini dengan memperkenalkan dua istilah penting:

  • Bakda Lebaran: Tradisi silaturahmi dan saling memaafkan setelah menunaikan Salat Idul Fitri.
  • Bakda Kupat (Lebaran Ketupat): Perayaan yang dilaksanakan seminggu setelah Idul Fitri.

Lebaran Ketupat berfungsi sebagai pelengkap ibadah puasa Ramadan dan menggenapkan puasa selama satu tahun dengan menjalankan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal. Dengan demikian, perayaan ini menjadi wujud syukur atas keberhasilan menjalankan ibadah puasa dan sekaligus sarana untuk memperkenalkan ajaran Islam tentang pentingnya bersyukur kepada Allah SWT.

Filosofi Mendalam di Balik Ketupat

Ketupat bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga simbol yang kaya akan makna filosofis. Dalam buku 'Fenomena Sosial Keagamaan Masyarakat Jawa dalam Kajian Sosiologi' (2021) karya Lilik Setiawan dkk, ketupat melambangkan permohonan maaf dan keberkahan. Bahan-bahan pembentuk ketupat juga memiliki makna tersendiri:

  • Nasi: Melambangkan nafsu duniawi.
  • Janur (daun kelapa muda): Melambangkan 'jati ning nur,' yang berarti hati nurani.

Melalui simbol-simbol ini, manusia diharapkan mampu mengendalikan nafsu duniawi dengan menggunakan hati nurani. Selain itu, ketupat juga dimaknai sebagai 'jarwa dhosok' yang berarti 'ngaku lepat' (mengakui kesalahan). Pesan yang terkandung adalah pentingnya meminta maaf ketika melakukan kesalahan. Bungkus ketupat yang terbuat dari janur juga dipercaya sebagai penolak bala bagi masyarakat Jawa.

Ketupat: Penyempurna Kemenangan Idul Fitri

Bentuk segi empat pada ketupat mencerminkan prinsip 'Kiblat papat lima pancer,' yang berarti bahwa ke mana pun manusia pergi, pada akhirnya akan kembali kepada Allah SWT. Anyaman janur yang rumit melambangkan berbagai macam kesalahan yang mungkin dilakukan manusia. Sementara itu, warna putih pada ketupat ketika dibelah dua menyimbolkan kebersihan dan kesucian.

Oleh karena itu, Lebaran Ketupat menjadi momen penyempurna kemenangan setelah menjalankan ibadah puasa Ramadan dan saling memaafkan. Di beberapa daerah, tradisi Lebaran Ketupat juga dikenal dengan sebutan Syawalan, yang merupakan momen untuk mempererat tali silaturahmi dan berbagi kebahagiaan.