Eskalasi Kekerasan Terhadap Jurnalis di Indonesia Picu Keprihatinan: Impunitas Jadi Sorotan Utama

Meningkatnya Kasus Kekerasan terhadap Jurnalis: Impunitas Jadi Faktor Kunci

Gelombang kekerasan yang menimpa jurnalis di Indonesia semakin mengkhawatirkan, memicu diskusi mendalam tentang perlindungan pers dan supremasi hukum. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyoroti bahwa impunitas, atau kekebalan hukum bagi pelaku, menjadi penyebab utama suburnya kekerasan terhadap para pencari berita.

Ketua AJI Indonesia, Nany Afrida, menyatakan keprihatinannya atas tren permintaan maaf yang dianggap sebagai solusi instan setelah tindakan kekerasan terjadi. Menurutnya, praktik ini mengabaikan dampak jangka panjang yang dialami korban, baik secara profesional maupun psikologis.

"Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya sekadar insiden fisik, tetapi juga serangan terhadap kebebasan pers dan hak publik untuk mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang," tegas Nany Afrida.

Perlindungan Hukum yang Mandul?

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebenarnya telah mengamanatkan perlindungan terhadap kerja jurnalistik dari segala bentuk intimidasi dan kekerasan. Pasal 18 Ayat (1) UU Pers secara jelas mengatur sanksi pidana bagi pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Namun, implementasinya di lapangan masih jauh dari harapan.

Lemahnya penegakan hukum pidana, menurut Nany, membuat banyak jurnalis korban kekerasan memilih jalan damai dengan menerima permintaan maaf. Ketidakpercayaan terhadap sistem hukum yang dianggap belum sepenuhnya berpihak pada korban menjadi alasan utama.

Rentetan Kasus Kekerasan yang Mengkhawatirkan

Beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi baru-baru ini menjadi bukti nyata betapa rentannya profesi ini:

  • Pemukulan Fotografer ANTARA: Makna Zaezar, seorang fotografer Kantor Berita ANTARA, menjadi korban pemukulan oleh tim protokoler Kapolri saat meliput kegiatan resmi. Meskipun Kapolri telah meminta maaf dan pelaku telah menyambangi kantor berita, insiden ini mencoreng citra penegak hukum.
  • Teror terhadap Redaksi Tempo: Kantor redaksi Majalah Tempo dikirimi teror berupa kepala babi dan bangkai tikus tanpa kepala, yang diduga terkait dengan pemberitaan yang mereka lakukan. Teror ini jelas merupakan upaya untuk membungkam suara kritis media.
  • Ancaman dan Penggeledahan terhadap Jurnalis Kompas.com: Jurnalis Kompas.com, Adhyasta Dirgantara, menerima ancaman verbal dari ajudan Panglima TNI setelah mewawancarai pejabat tersebut. Sementara itu, Rega Almutada, jurnalis Kompas.com lainnya, mengalami penggeledahan dan pembukaan paksa konten ponsel saat meliput aksi demonstrasi.
  • Kasus Pembunuhan dan Kematian Misterius: Kasus pembunuhan jurnalis wanita bernama Juwita oleh oknum TNI AL masih menyisakan trauma mendalam. Selain itu, kematian misterius jurnalis asal Palu, Situr Wijaya, di sebuah kamar hotel di Jakarta juga menambah daftar panjang kasus kekerasan yang belum terselesaikan.

Urgensi Reformasi Sistem Hukum dan Peningkatan Kesadaran

Menanggapi situasi ini, AJI Indonesia mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk melakukan reformasi sistem hukum yang berpihak pada perlindungan jurnalis dan kebebasan pers. Selain itu, peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya peran jurnalis dalam menjaga demokrasi juga menjadi kunci untuk mencegah terjadinya kekerasan di masa depan.

"Jurnalis adalah garda terdepan dalam menyampaikan informasi kepada publik. Melindungi mereka berarti melindungi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar dan akurat," pungkas Nany Afrida.

Kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terus berulang ini menjadi alarm bagi seluruh elemen bangsa. Perlindungan terhadap jurnalis bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan aparat penegak hukum, tetapi juga tanggung jawab seluruh masyarakat sipil.