Lebaran Ketupat di Reksonegoro: Harmoni Tradisi Jawa dan Gorontalo dalam Balutan Doa dan Silaturahmi

Lebaran Ketupat di Reksonegoro: Harmoni Tradisi Jawa dan Gorontalo dalam Balutan Doa dan Silaturahmi

Desa Reksonegoro, Gorontalo, kembali menjadi pusat perayaan Lebaran Ketupat yang meriah, sebuah tradisi unik yang memadukan budaya Jawa dan Gorontalo. Perayaan ini diawali dengan lantunan doa untuk kedamaian dan kemajuan bangsa, dipimpin oleh Imam Masjid Reksonegoro, Muhammad Wonopatih. Aroma khas dupa dari polutube, wadah pembakaran kemenyan tradisional Gorontalo, menyelimuti suasana, menambah kekhusyukan acara.

Gema beduk dan kentongan tua memecah keheningan pagi, ditabuh secara bersamaan oleh Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail, Bupati Gorontalo, Sofyan Puhi, dan tokoh masyarakat Jawa Tondano (Jaton), Hasyim Wonopatih. Penabuhan ini menjadi simbol dimulainya rangkaian perayaan Lebaran Ketupat di desa tersebut.

"Doa ini adalah warisan leluhur kami, selalu dipanjatkan setiap Lebaran Ketupat," ungkap Muhammad Wonopatih, mencerminkan betapa pentingnya tradisi ini bagi masyarakat Reksonegoro.

Jejak Sejarah dan Akulturasi Budaya

Perayaan Lebaran Ketupat di Reksonegoro bukan sekadar pesta kuliner, tetapi juga sebuah napak tilas sejarah panjang perjuangan dan akulturasi budaya. Muhammad Wonopatih mengisahkan bagaimana para leluhurnya, para pejuang yang terlibat dalam Perang Jawa (1825-1830), mengalami pengkhianatan, penangkapan, dan pengasingan di Tondano, Minahasa.

Namun, di tanah pengasingan, semangat mereka tidak padam. Mereka justru membangun komunitas baru yang dikenal sebagai Jawa Tondano (Jaton), hasil dari perkawinan dengan perempuan-perempuan Minahasa. Masyarakat Jaton ini berhasil melestarikan tradisi pesantren Jawa yang dibawa oleh Kiyai Mojo dan 63 pengikutnya. Salah satu tradisi yang terus dijaga dan dilestarikan adalah Lebaran Ketupat, yang dari tahun ke tahun semakin semarak dan melibatkan lebih banyak orang.

Hidangan Khas dan Keramahtamahan

Menu Lebaran Ketupat di Reksonegoro tetap setia pada warisan leluhur, dengan sentuhan cita rasa lokal. Ketupat menjadi hidangan utama, ditemani oleh nasi buluh khas Minahasa, jenang, dan berbagai kuliner tradisional lainnya. Desa Reksonegoro dan Yosonegoro, bersama dengan Desa Kaliyoso, telah lama menjadi pusat permukiman warga Jawa Tondano sejak zaman penjajahan Belanda.

Sejak sehari sebelumnya, warga desa telah sibuk menyiapkan hidangan-hidangan istimewa ini. Aroma harum ketupat yang direbus dan nasi buluh yang dibakar, memenuhi udara, membangkitkan selera dan semangat kebersamaan.

Setiap tamu yang datang disambut dengan senyum hangat dan suguhan hidangan Lebaran yang berlimpah. Keramahan ini adalah cerminan dari filosofi Lebaran Ketupat itu sendiri, yaitu mempererat tali persaudaraan.

"Biasanya, tamu yang pulang akan kami beri oleh-oleh nasi buluh dan jenang," kata Idris Mertosono, seorang warga Jawa Tondano yang tinggal di Isimu, menunjukkan betapa besar semangat berbagi dan kebersamaan dalam tradisi ini.

Menguatkan Persaudaraan dalam Anyaman Janur

Lebaran Ketupat di Reksonegoro bukan sekadar perayaan tradisi, tetapi juga sebuah momentum untuk memperkuat ikatan sosial di antara masyarakat. Layaknya anyaman janur ketupat yang saling menguatkan, perayaan ini menyatukan berbagai elemen masyarakat dalam semangat persaudaraan dan kebersamaan. Perayaan ini adalah bukti nyata bagaimana tradisi dan budaya dapat menjadi perekat sosial yang kuat, membangun harmoni dan memperkaya kehidupan bermasyarakat.