Gelombang Penolakan UU TNI: Aksi Simbolik Warga Sipil Berkemah di Depan Gedung DPR RI Usai Jam Kerja
Aksi Simbolik di Jantung Parlemen
Gelombang penolakan terhadap Undang-Undang TNI (UU TNI) terus bergulir. Sebagai bentuk protes damai, sejumlah warga sipil menggelar aksi simbolik dengan berkemah di depan Gedung DPR RI, Jakarta. Aksi ini menjadi sorotan karena banyak peserta yang langsung bergabung setelah menyelesaikan pekerjaan mereka sehari-hari, menunjukkan dedikasi dan kepedulian mereka terhadap isu ini.
Al, seorang pekerja swasta yang turut serta dalam aksi tersebut, mengungkapkan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk protes spontan dari masyarakat sipil yang menolak pengesahan UU TNI. "Kita dari kolektif masyarakat sipil biasa saja, tidak terikat dari aliansi manapun," ujarnya, menekankan independensi gerakan ini.
Aksi ini, yang dimulai pada Senin (7/4/2025), merupakan wujud kekhawatiran masyarakat terhadap implikasi UU TNI yang baru disahkan. Para peserta aksi memilih metode berkemah sebagai alternatif yang lebih aman dibandingkan demonstrasi besar-besaran yang berpotensi menimbulkan bentrokan dan korban.
Tuntutan Pembatalan UU TNI
Tuntutan utama dari aksi ini adalah pembatalan UU TNI yang disahkan pada 20 Maret 2025. Mereka menilai bahwa undang-undang ini berpotensi mengancam supremasi sipil dan memperluas kewenangan militer di ranah sipil. Aksi ini, meskipun tanpa spanduk atau atribut demonstrasi yang mencolok, menyampaikan pesan yang jelas dan tegas kepada para pembuat kebijakan.
Pengamatan di lokasi menunjukkan bahwa para peserta aksi mendirikan beberapa tenda di depan gerbang Gedung DPR RI. Mereka memanfaatkan area tersebut untuk berdiskusi, membaca, dan berinteraksi satu sama lain, menciptakan suasana yang kondusif untuk menyampaikan aspirasi mereka.
Berikut adalah poin-poin penting terkait aksi penolakan UU TNI:
- Tuntutan Utama: Pembatalan UU TNI yang telah disahkan.
- Metode Aksi: Berkemah di depan Gedung DPR RI sebagai bentuk protes damai dan aman.
- Partisipasi: Terbuka untuk semua kalangan masyarakat sipil, termasuk seniman dan komunitas lainnya.
- Motivasi: Kekhawatiran terhadap potensi ancaman terhadap supremasi sipil dan perluasan kewenangan militer.
Aksi Berkelanjutan dan Solidaritas
Al meyakini bahwa aksi ini akan terus berlanjut dengan kedatangan peserta baru setiap harinya. Mereka akan secara bergantian berkemah dan melakukan aksi demonstrasi sampai tuntutan mereka dipenuhi, yaitu pembatalan UU TNI. Aksi ini juga terbuka bagi kelompok masyarakat atau seniman yang ingin bergabung dan menyuarakan pendapat mereka melalui berbagai cara, seperti bermusik atau teater.
"Kita juga terbuka untuk berbagi kelompok masyarakat atau kelompok seniman yang ingin bergabung. Kita bisa menyuarakan pendapat sesuai dengan apa yang biasa dilakukan, misalnya seniman bermusik atau teater," jelas Al.
Solidaritas dan dukungan terus mengalir dari berbagai elemen masyarakat. Aksi ini menjadi simbol perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap tidak demokratis dan berpotensi merugikan masyarakat sipil.
Latar Belakang Pengesahan UU TNI
UU TNI disahkan melalui rapat paripurna DPR pada Kamis (20/3/2025). Undang-undang ini mencakup perubahan pada empat pasal, yaitu Pasal 3 mengenai kedudukan TNI, Pasal 7 soal tugas pokok TNI, Pasal 53 soal usia pensiun prajurit, serta Pasal 47 berkaitan dengan penempatan prajurit aktif di jabatan sipil.
Pengesahan UU TNI ini menuai kritik dan penolakan dari berbagai kalangan masyarakat sipil. Mereka menilai bahwa undang-undang ini memberikan terlalu banyak kewenangan kepada TNI dan berpotensi mengganggu keseimbangan antara kekuatan militer dan sipil.
Gelombang protes terus terjadi di berbagai daerah, dan tak jarang aksi unjuk rasa diwarnai kekerasan oleh aparat. Hal ini semakin memicu kekhawatiran dan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah dan DPR.
Relevansi Aksi dan Pesan yang Disampaikan
Aksi berkemah di depan Gedung DPR RI ini merupakan manifestasi dari kekhawatiran dan ketidakpuasan masyarakat terhadap pengesahan UU TNI. Aksi ini menjadi simbol perlawanan damai terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil dan berpotensi merugikan masyarakat sipil.
Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa masyarakat sipil tidak akan tinggal diam ketika hak-hak mereka terancam. Mereka akan terus berjuang untuk mempertahankan demokrasi dan supremasi sipil melalui berbagai cara yang damai dan konstitusional.
Aksi ini juga menjadi pengingat bagi para pembuat kebijakan bahwa mereka harus mendengarkan aspirasi masyarakat dan mempertimbangkan implikasi dari setiap kebijakan yang mereka buat. Kebijakan yang tidak adil dan tidak demokratis hanya akan menimbulkan perpecahan dan konflik di masyarakat.