Tradisi Ngabuburit Anak-Anak Cimahi: Permainan Meriam Paralon di Lapangan Poral

Tradisi Ngabuburit Anak-Anak Cimahi: Permainan Meriam Paralon di Lapangan Poral

Di bulan Ramadan, ngabuburit menjadi aktivitas yang dinantikan, terutama bagi anak-anak yang sedang menikmati liburan sekolah. Di Kota Cimahi, khususnya di Lapangan Poral, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, suatu tradisi unik mewarnai momen menunggu berbuka puasa ini. Sejumlah anak-anak mengisi waktu luang mereka dengan permainan meriam paralon, atau yang dikenal dengan sebutan 'lodong' dalam bahasa Sunda. Afnan, seorang siswa SD, dan temannya Al, menjadi contoh dari anak-anak yang meneruskan tradisi ini.

Mereka menghabiskan sore hari dengan 'perang' meriam paralon yang mereka buat sendiri. Berbeda dengan meriam tradisional yang terbuat dari bambu, meriam buatan mereka memanfaatkan pipa paralon—bahan yang lebih mudah didapatkan dan dibentuk. Afnan menjelaskan, pembuatan meriam paralon tergolong sederhana dan murah. Mereka hanya membutuhkan pipa paralon sepanjang 30 hingga 50 sentimeter, ujung botol air mineral sebagai 'mahkota laras', dan sedikit kreativitas untuk merakitnya. Sebagai bahan bakar, mereka menggunakan spirtus, yang disemprotkan ke dalam paralon menggunakan botol semprot bekas. Sistem penyalaannya pun sederhana, memanfaatkan korek gas bekas. Biaya pembuatannya pun relatif terjangkau, sekitar Rp50.000, sudah termasuk pembelian spirtus.

Lebih lanjut, Afnan menjelaskan alasan mereka memilih paralon sebagai bahan baku. “Dari paralon, kalau dari bambu susah bikinnya. Terus cari bambunya juga susah, kadang kalau sudah jadi cuma bunyi sekali terus lodongnya pecah,” ujarnya. Keunggulan paralon terletak pada kemudahan pembuatan, bobotnya yang ringan, dan daya tahannya yang lebih baik dibandingkan bambu. Ukurannya pun bisa disesuaikan dengan keinginan.

Permainan ini bukan sekadar hiburan semata. Bagi Afnan dan Al, bermain meriam paralon merupakan tradisi Ramadan yang selalu mereka nantikan. Mereka biasanya bermain sekitar pukul 4 sore, kecuali jika cuaca hujan. Permainan tersebut melibatkan dua tim yang saling 'berperang' dengan meriam paralon mereka di lapangan. Semangat persaingan terlihat jelas dalam permainan ini, namun tetap dalam batas yang wajar dan penuh keceriaan.

Selain 'perang' meriam, mereka juga mengisi waktu ngabuburit dengan permainan lain seperti bermain bola dan bersepeda. Lapangan Poral menjadi tempat berkumpul dan bermain bagi anak-anak di lingkungan tersebut. Mereka lebih memilih aktivitas bermain di luar ruangan dibandingkan bermain game di dalam rumah, menunjukkan kecintaan mereka terhadap permainan tradisional dan interaksi sosial langsung dengan teman sebaya.

Tradisi ngabuburit dengan meriam paralon di Lapangan Poral mencerminkan kreativitas dan kekompakan anak-anak dalam memanfaatkan waktu luang selama Ramadan. Permainan ini juga menjadi bukti kelestarian tradisi lokal yang dipadukan dengan kreativitas anak muda dalam memanfaatkan sumber daya yang ada. Permainan sederhana ini menunjukkan betapa kebersamaan dan kesederhanaan dapat menciptakan keceriaan tersendiri di bulan Ramadan.