Pasca Libur Panjang, IHSG Diterpa Sentimen Negatif Tarif Trump: Ancaman Trading Halt dan Dampak Ekspor

Pasar Modal Indonesia Dihadapkan Tantangan Berat Pasca Libur Panjang

Pasar modal Indonesia, khususnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), bersiap menghadapi tantangan berat pasca libur Nyepi dan Lebaran 2025. Pembukaan perdagangan saham diwarnai kekhawatiran akibat kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump pada tanggal 4 April 2025.

Kebijakan proteksionis ini, yang menetapkan bea masuk yang setara terhadap negara-negara yang mengenakan tarif tinggi pada produk AS, telah memicu kegelisahan di pasar global. Kekhawatiran utama meliputi eskalasi perang dagang, gangguan rantai pasokan, dan potensi perlambatan ekonomi dunia. Para analis pasar memprediksi bahwa dampak dari kebijakan ini akan langsung terasa pada pergerakan IHSG.

Potensi Trading Halt dan Volatilitas Tinggi

Nafan Aji Gusta, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, memperingatkan bahwa kebijakan tarif Trump akan menyebabkan volatilitas tinggi di bursa global, yang pada gilirannya akan mempengaruhi IHSG. Bahkan, beberapa pihak memproyeksikan potensi penghentian perdagangan saham sementara (trading halt) pada hari pertama perdagangan setelah libur panjang.

"Wajar saja nanti dalam pembukaan IHSG akan ada potensi gap. Kita harus melihat nanti bagaimana perkembangan dari pergerakan indeks global pada hari Senin, karena itu juga sangat menentukan," ujar Nafan.

Ibrahim Assuaibi, pengamat sektor keuangan, sebelumnya juga memproyeksikan potensi suspend atau penghentian sementara perdagangan saham pada hari pertama setelah libur Lebaran 2025. Ia memperkirakan pelemahan IHSG akan berkisar antara 2-3 persen. Namun, dengan pelemahan rupiah yang terus terjadi di pasar luar negeri (Non-Deliverable Forward/NDF), bukan tidak mungkin pasar modal akan terkena suspend atau trading halt yang berarti IHSG melemah di atas 5 persen.

Dampak pada Emiten Berorientasi Ekspor

Kebijakan tarif impor Trump juga mengancam kinerja emiten-emiten yang berorientasi ekspor ke Amerika Serikat. Pemberlakuan tarif ini akan membuat harga barang-barang produksi Indonesia yang diekspor ke AS menjadi lebih mahal, mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar AS.

Budi Frensidy, Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia, menyoroti bahwa emiten dari sektor makanan dan minuman (mamin), komoditas, furnitur atau mebel, dan sektor lain yang berorientasi ekspor ke AS akan merasakan dampak negatif dari kebijakan ini.

Nafan Aji Gusta menekankan pentingnya dukungan pemerintah bagi emiten-emiten yang terdampak. Pemerintah perlu melakukan negosiasi dan diplomasi perdagangan dengan AS dan negara-negara lain untuk membuka akses pasar ekspor Indonesia.

"Indonesia bisa meningkatkan kerja sama bilateral dan multilateral dengan negara-negara sahabat di bidang perdagangan," kata Nafan.

Tekanan Rupiah dan Outflow Modal Asing

Bhima Yudhistira, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menjelaskan bahwa kebijakan tarif Trump berpotensi memperlemah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Investor cenderung mencari aset yang lebih aman dan menarik modalnya keluar dari negara berkembang.

Tekanan pada rupiah perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan imported inflation, yaitu kenaikan harga barang impor. Hal ini dapat menekan daya beli masyarakat, terutama untuk kebutuhan pokok seperti pangan, dan juga kebutuhan sekunder seperti perlengkapan rumah tangga dan elektronik.

"Pasca libur Lebaran, pasar saham bersiap hadapi capital outflow. Trading halt bukan tidak mungkin terjadi lagi," ujar Bhima.

Secara keseluruhan, pasar modal Indonesia menghadapi tantangan yang signifikan pasca libur panjang. Kebijakan tarif Trump menjadi sentimen negatif yang berpotensi memicu volatilitas, menekan kinerja emiten ekspor, dan melemahkan nilai tukar rupiah. Pemerintah dan pelaku pasar perlu mengambil langkah-langkah antisipatif untuk memitigasi dampak negatif dari kebijakan ini dan menjaga stabilitas pasar modal Indonesia.