Kontroversi Sahur On The Road: Antara Tradisi Kebaikan dan Ancaman Gangguan Keamanan

Kontroversi Sahur On The Road: Antara Tradisi Kebaikan dan Ancaman Gangguan Keamanan

Fenomena 'Sahur on the Road' (SOTR), yang populer di bulan Ramadan, telah menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Praktik berbagi makanan sahur di jalan raya ini, meskipun bermula dari niat mulia, kini dihadapkan pada dilema antara semangat berbagi dan potensi gangguan keamanan dan ketertiban umum. Perkembangan SOTR, dari awal kemunculannya hingga penerapan larangannya, menunjukkan evolusi kompleks dari sebuah tradisi sosial.

Asal Usul dan Perkembangan SOTR

Berkembang sejak awal tahun 2000-an, SOTR dipopulerkan oleh media massa yang mengangkat tradisi membangunkan orang sahur sebagai momen kebersamaan. Awalnya, kegiatan ini berupa aksi sosial berbagi makanan kepada masyarakat kurang mampu, sering dilakukan oleh kelompok muda yang berkeliling dengan kendaraan bermotor. Pengamat sosial, Devie Rahmawati, menjelaskan bahwa media berperan besar dalam mempopulerkan istilah dan praktik SOTR, yang kemudian diadopsi oleh masyarakat luas. Kegiatan ini, menurutnya, lebih banyak melibatkan anak muda dan memiliki tujuan mulia untuk berbagi berkah di bulan Ramadan. Kemenag sendiri mengakui SOTR sebagai bentuk kreativitas masyarakat dalam beribadah, dengan gambaran konvoi kendaraan yang membagikan makanan ke panti asuhan atau komunitas yang membutuhkan, seringkali dilanjutkan dengan kegiatan keagamaan seperti pengajian dan salat Subuh berjamaah.

Dilema SOTR: Niat Mulia vs. Ancaman Keamanan

Meskipun berakar pada niat berbagi dan kebersamaan, SOTR juga menimbulkan potensi masalah. Kegiatan ini seringkali menimbulkan kemacetan lalu lintas dan bahkan potensi keributan hingga tawuran antar kelompok. Hal ini membuat pihak kepolisian mengeluarkan imbauan dan bahkan larangan terhadap pelaksanaan SOTR. Dirlantas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Latif Usman, menjelaskan bahwa larangan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban umum, khususnya insiden perkelahian atau tawuran yang kerap terjadi saat SOTR. Patroli skala besar pun dilakukan untuk mengawasi pelaksanaan SOTR dan mencegah potensi gangguan yang dapat mengganggu kekhusyukan ibadah puasa.

Menyeimbangkan Tradisi dan Keamanan

Larangan SOTR menunjukkan perlunya keseimbangan antara mengembangkan tradisi sosial yang positif dengan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Memang, semangat berbagi dan kebersamaan di bulan Ramadan patut diapresiasi, namun pelaksanaan kegiatan tersebut perlu memperhatikan aspek keselamatan dan kenyamanan masyarakat luas. Perlu adanya pendekatan yang lebih bijak dalam menyikapi fenomena SOTR, sehingga nilai-nilai positifnya tetap dapat dipertahankan tanpa mengorbankan keamanan dan ketertiban umum. Mungkin perlu dipertimbangkan alternatif kegiatan berbagi yang lebih terorganisir dan tidak mengganggu aktivitas masyarakat lain, sehingga esensi kebaikan dari SOTR tetap dapat terwujud. Koordinasi antara pemerintah, masyarakat, dan pihak kepolisian sangat penting untuk menemukan solusi yang tepat dalam hal ini. Diharapkan, di masa mendatang, semangat berbagi di bulan Ramadan dapat diwujudkan dengan cara yang lebih aman dan tertib.