Kontroversi Alun-Alun Gadobangkong: Patung Penyu Kardus dan Anggaran Miliaran Rupiah Dipertanyakan

Kontroversi Alun-Alun Gadobangkong: Patung Penyu Kardus dan Anggaran Miliaran Rupiah Dipertanyakan

Proyek pembangunan Alun-alun Gadobangkong di Palabuhanratu, Sukabumi, yang menelan anggaran Rp 15,6 miliar, tengah menjadi sorotan publik. Bukan karena keindahannya, melainkan karena kontroversi terkait kualitas konstruksi, khususnya patung penyu ikonik yang menjadi pusat perhatian. Munculnya fakta penggunaan kardus sebagai material dalam pembuatan patung tersebut telah memicu gelombang kritik dan pertanyaan mengenai transparansi penggunaan dana publik.

Pemkab Sukabumi, melalui Sekretaris Daerah Ade Suryaman, menyatakan bahwa proyek tersebut merupakan inisiatif Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan telah diserahterimakan pada akhir tahun 2024. Ade Suryaman menekankan bahwa anggaran Rp 15,6 miliar mencakup keseluruhan pembangunan alun-alun, bukan hanya patung penyu. Ia mengaku baru mengetahui penggunaan kardus dalam konstruksi patung tersebut. Lebih lanjut, Ade Suryaman menjelaskan bahwa keterbatasan anggaran menyebabkan Pemkab Sukabumi belum mengalokasikan dana khusus untuk pemeliharaan alun-alun, meskipun Satpol PP dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) telah ditugaskan untuk menjaga kebersihan dan ketertiban di lokasi tersebut. Terkait kondisi patung penyu yang rusak, Pemkab Sukabumi menyatakan bahwa kajian teknis menjadi wewenang Pemprov Jabar dan menunggu hasil investigasi dari Aparat Penegak Hukum (APH).

Pernyataan kontroversial muncul dari Kepala DLH Kabupaten Sukabumi, Prasetyo, yang menyebut patung penyu sebagai “hadiah” dari pihak kontraktor dan tidak tercantum dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB). Pernyataan ini langsung dibantah oleh Imran Firdaus, pihak kontraktor pelaksana proyek. Imran menegaskan bahwa pembuatan patung penyu tercantum dalam RAB dengan anggaran Rp 30 juta, menggunakan bahan resin dan fiberglass. Ia menjelaskan bahwa kardus hanya berfungsi sebagai cetakan awal, bukan sebagai material utama. Imran juga memberikan klarifikasi mengenai total anggaran yang diterima, yang menurutnya lebih rendah dari angka yang beredar di media, setelah dikurangi pajak PPN 11 persen, denda keterlambatan, dan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Situasi ini menimbulkan beberapa pertanyaan krusial. Pertama, bagaimana pengawasan proyek pembangunan alun-alun tersebut sehingga penggunaan material yang tidak sesuai standar dapat terjadi? Kedua, apakah terdapat kejanggalan dalam proses pengadaan dan penggunaan anggaran yang mencapai Rp 15,6 miliar? Ketiga, bagaimana mekanisme pertanggungjawaban dan tindak lanjut atas kerusakan patung penyu dan potensi kerugian negara? Kejelasan dan transparansi dari pihak terkait, baik Pemprov Jabar maupun Pemkab Sukabumi, sangat dibutuhkan untuk menjawab keraguan publik dan memastikan pertanggungjawaban atas penggunaan dana publik.

Ke depan, peristiwa ini perlu menjadi pelajaran berharga dalam tata kelola proyek pembangunan infrastruktur publik. Mekanisme pengawasan yang lebih ketat, transparansi anggaran yang lebih baik, serta akuntabilitas para pihak terkait mutlak diperlukan untuk mencegah terulangnya kejadian serupa dan memastikan pembangunan yang berkualitas dan bertanggung jawab.

Berikut poin-poin penting yang perlu diperhatikan:

  • Selisih pernyataan antara Pemkab Sukabumi, DLH, dan kontraktor mengenai patung penyu.
  • Penggunaan kardus dalam konstruksi patung penyu yang bernilai miliaran rupiah.
  • Kurangnya transparansi dalam penggunaan anggaran proyek.
  • Peran dan tanggung jawab Pemprov Jabar dan Pemkab Sukabumi dalam pengawasan proyek.
  • Langkah-langkah yang akan diambil untuk memperbaiki kondisi Alun-alun Gadobangkong dan patung penyu.
  • Investigasi lebih lanjut oleh APH untuk mengungkap potensi penyimpangan.