Industri Nasional Terancam: Tarif Impor AS 32 Persen Picu Reaksi Keras Pengusaha Indonesia

Industri Nasional Terancam: Tarif Impor AS 32 Persen Picu Reaksi Keras Pengusaha Indonesia

Jakarta – Kalangan pengusaha di berbagai sektor industri di Indonesia menyampaikan kekhawatiran mendalam terkait kebijakan terbaru Amerika Serikat (AS) yang mengenakan tarif impor sebesar 32 persen. Kebijakan yang diumumkan oleh pemerintah AS ini dinilai sebagai ancaman serius bagi daya saing produk-produk Indonesia di pasar global. Para pelaku industri mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah-langkah strategis guna melindungi kepentingan nasional dan keberlangsungan bisnis dalam negeri.

Tarif baru ini, yang akan mulai berlaku pada 9 April 2025, secara signifikan lebih tinggi dibandingkan tarif yang dikenakan kepada negara-negara ASEAN lainnya. Perbandingan tarif menunjukkan bahwa Malaysia hanya dikenakan tarif 24 persen, Singapura 10 persen, dan Filipina 17 persen, menempatkan Indonesia pada posisi yang kurang menguntungkan. Kebijakan ini tidak hanya menyasar Indonesia, tetapi juga diberlakukan terhadap sekitar 180 negara lain, yang berpotensi memicu perang dagang global.

Dampak Signifikan pada Berbagai Sektor Industri

Beberapa sektor industri utama Indonesia telah menyatakan kekhawatiran mereka mengenai dampak potensial dari tarif impor baru ini. Berikut adalah rincian dampak yang diperkirakan pada masing-masing sektor:

  • Industri Pulp dan Kertas: Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) memperkirakan penurunan daya saing produk pulp dan kertas Indonesia di pasar AS. Tarif yang lebih tinggi akan membuat produk Indonesia menjadi kurang menarik dibandingkan dengan produk dari negara lain dengan tarif yang lebih rendah. APKI menekankan bahwa langkah ini juga akan mengancam prinsip perdagangan bebas dan adil yang telah diatur oleh WTO. Mereka mendesak pemerintah untuk memperkuat perlindungan pasar domestik dan secara konsisten menerapkan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

  • Industri Otomotif: Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM) memperkirakan dampak yang besar mengingat tarif impor ke AS sebelumnya relatif rendah. Mereka mengusulkan penerapan tarif timbal balik sebagai solusi yang adil, di mana Indonesia juga mengenakan tarif yang sama tingginya pada produk otomotif AS yang masuk ke Indonesia. Opsi lain yang dipertimbangkan adalah menurunkan tarif untuk produk AS tertentu untuk menciptakan keseimbangan.

  • Industri Sepatu: Asosiasi Persepatuan Indonesia (APRISINDO) sangat khawatir karena AS merupakan tujuan ekspor utama bagi produk alas kaki Indonesia. Dengan tarif yang berpotensi mencapai 42 persen untuk produk alas kaki, daya saing industri sepatu Indonesia akan sangat terancam. APRISINDO merekomendasikan agar Indonesia segera menyelesaikan perjanjian Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) yang telah tertunda. Perjanjian ini akan memberikan akses ke pasar Eropa yang luas dan mengurangi ketergantungan pada pasar AS.

  • Industri Makanan dan Minuman: Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) memperkirakan kenaikan biaya produksi dan penurunan daya saing produk Indonesia di pasar internasional. Kenaikan tarif juga berpotensi menaikkan harga jual produk di pasar domestik dan mengurangi ekspor ke AS dan negara lain. Gapmmi menyoroti pentingnya menjaga hubungan perdagangan yang stabil dengan AS, mengingat AS adalah pasar ekspor utama untuk produk-produk unggulan Indonesia seperti kopi, kelapa, dan minyak sawit.

Pemerintah Diminta Bertindak Cepat

Merespon ancaman ini, berbagai asosiasi industri mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mengambil tindakan konkret. Langkah-langkah yang diusulkan meliputi:

  • Perlindungan pasar domestik dari serbuan produk impor.
  • Penerapan kebijakan tarif timbal balik terhadap produk AS.
  • Peninjauan kembali kebijakan tarif untuk produk-produk AS.

Para pengusaha berharap pemerintah dapat bertindak cepat sebelum tarif 32 persen mulai berlaku pada 9 April 2025, untuk menjaga keberlanjutan dan daya saing industri Indonesia di tengah tantangan global yang semakin kompleks.