Invasi Militerisme ke Kampus: Ancaman Serius bagi Kebebasan Akademik dan Demokrasi

Alarm Demokrasi: Mengapa Militerisasi Kampus Mengkhawatirkan?

Kehadiran militer yang semakin nyata di berbagai kampus di Indonesia telah memicu kekhawatiran mendalam tentang masa depan kebebasan akademik dan nilai-nilai demokrasi. Kolaborasi antara perguruan tinggi dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang mencakup pelatihan bela negara, sosialisasi revisi Undang-Undang TNI, hingga permintaan data mahasiswa, mengindikasikan tren militerisme yang mengkhawatirkan. Militerisme di sini tidak hanya merujuk pada kehadiran fisik tentara, tetapi juga infiltrasi cara berpikir militer ke dalam kehidupan sipil, khususnya di lingkungan pendidikan tinggi.

Kondisi ini membawa ancaman serius bagi universitas, yang seharusnya menjadi ruang dialog terbuka dan kebebasan berpikir. Alih-alih menjadi tempat untuk mengembangkan nalar kritis, kampus berisiko direduksi menjadi alat kontrol sosial dan indoktrinasi. Sejarah kelam Orde Baru, dengan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), menjadi pengingat bagaimana represi terhadap aktivisme mahasiswa dan pembungkaman kritik dapat terjadi.

Bela Negara yang Terdistorsi

Konsep bela negara yang seharusnya luas dan inklusif kini terdistorsi. Kontribusi mahasiswa dalam riset, inovasi, advokasi sosial, dan pengabdian masyarakat seharusnya diakui sebagai bentuk bela negara yang sah. Namun, ketika bela negara dimonopoli oleh militer, narasi patriotisme menyempit menjadi loyalitas buta terhadap kekuasaan.

Hal ini selaras dengan teori bio-power Foucault, di mana negara berusaha mengendalikan pikiran dan tubuh warga negara melalui institusi seperti pendidikan. Kampus, sebagai pusat produksi pengetahuan dan pembentukan identitas, menjadi target strategis bagi kekuatan yang ingin mempertahankan status quo melalui normalisasi dan disiplin sosial.

Atmosfer Ketakutan dan Hilangnya Independensi

Kehadiran militer di kampus berpotensi menciptakan atmosfer ketakutan dan mengancam hak asasi manusia. Kasus pemanggilan BEM Universitas Jenderal Soedirman oleh Kodim setelah menyuarakan penolakan terhadap revisi UU TNI, serta dugaan permintaan data mahasiswa oleh Kodim 1707/Merauke di Papua, adalah contoh nyata. Di Universitas Udayana, kewajiban mahasiswa mengikuti pendidikan dan latihan bela negara atas dasar MoU dengan Kodam IX/Udayana menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya independensi akademik.

Dalam masyarakat sipil yang demokratis, supremasi sipil atas militer adalah prinsip yang tak bisa ditawar. Militer harus tunduk pada otoritas sipil, bukan sebaliknya. Ketika militer memiliki ruang bebas masuk ke lembaga sipil tanpa pengawasan ketat, tatanan demokratis bergeser ke arah otoritarianisme yang terselubung.

Melucuti Senjata Logika Militer

Senjata dalam ranah sipil harus dilucuti, bukan hanya secara fisik, tetapi juga simbolik. Logika kekuatan militer yang bertumpu pada ancaman, kekerasan, dan dominasi tidak memiliki tempat di ruang pendidikan, kebudayaan, maupun politik sipil. Kampus adalah tempat berpikir kritis, berdialektika, dan bertransformasi, bukan tempat doktrin komando atau kepatuhan mutlak.

Negara seharusnya dibela dengan membangun kepercayaan warga, memperluas partisipasi publik, dan melindungi hak menyampaikan kritik secara bebas dan damai. Bela negara adalah tentang keberanian bersuara, bukan sekadar baris-berbaris. Ia lahir dari cinta Tanah Air yang tumbuh dalam kebebasan, bukan ketakutan. Langkah pertama untuk menjaga semangat kebangsaan sejati adalah memastikan ranah sipil steril dari cara-cara militeristik.

Kampus Bukan Barak: Menjaga Otonomi Pendidikan

Masuknya logika militer ke kampus bukan sekadar taktik politik, melainkan serangan terhadap fondasi demokrasi. Jika institusi pendidikan tinggi kehilangan otonominya, ruang untuk berpikir kritis dan mempertanyakan kebijakan negara secara rasional dan terbuka akan hilang.

Kampus bukan barak, dan mahasiswa bukan prajurit. Pendidikan bukan arena indoktrinasi. Pemerintah dan rektorat harus mengevaluasi kerja sama yang membuka pintu bagi militerisme di kampus. Publik, khususnya sivitas akademika, sedang menyaksikan terkikisnya demokrasi dari benteng terakhir kebebasan berpikir. Membiarkan militerisme merembes ke kampus adalah pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi dan prinsip demokrasi.

Tidak ada alasan membenarkan kehadiran aparat bersenjata di ruang akademik, selain membungkam dan mengontrol pikiran kritis. Kampus harus dibebaskan dari intervensi militer dalam bentuk apa pun. Jika negara terus membiarkan hal ini, generasi yang dibangun bukanlah generasi intelektual yang bebas, melainkan generasi yang dibentuk dalam ketakutan dan kepatuhan buta.