Terungkap di Persidangan Tipikor: Kesepakatan Hakim Bebaskan Ronald Tannur Diduga Berawal dari 'Satu Pintu' Gratifikasi

Skandal Vonis Bebas Ronald Tannur: Dugaan Suap Mencuat dalam Sidang Tipikor

Sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta mengungkap fakta mengejutkan terkait vonis bebas Gregorius Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan yang sebelumnya menghebohkan. Hakim Mangapul, yang dihadirkan sebagai saksi mahkota dalam sidang dengan terdakwa hakim Heru Hanindyo, membeberkan adanya kesepakatan antara tiga majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya untuk membebaskan Tannur. Kesepakatan ini, menurut Mangapul, diindikasikan terkait dengan 'satu pintu' yang mengarah pada dugaan penerimaan gratifikasi.

Kronologi Kesepakatan yang Terungkap di Persidangan

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung menggali keterangan Mangapul terkait proses musyawarah yang berujung pada vonis bebas Tannur. Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibacakan JPU, terungkap bahwa hakim ketua Erintuah menginisiasi istilah 'satu pintu' setelah tercapai kesepakatan untuk membebaskan Tannur. Mangapul membenarkan hal tersebut di hadapan majelis hakim Tipikor.

"Bahwa dalam musyawarah itu menyatakan perkara itu bebas, lalu saksi Erintuah mengatakan, 'oke kalau begitu satu pintu' betul kan seperti itu di keterangan saksi ini poin 9?" tanya jaksa.

"Iya," jawab Mangapul membenarkan.

Dua Kali Musyawarah dan 'Satu Pintu'

Menurut Mangapul, musyawarah untuk memvonis bebas Tannur dilakukan sebanyak dua kali. Musyawarah pertama dilakukan setelah sidang pemeriksaan terdakwa, di mana para hakim menyampaikan pendapat awal terkait kasus tersebut. Musyawarah kedua dilakukan setelah sidang tuntutan. Dalam musyawarah kedua inilah, kesepakatan untuk membebaskan Tannur kembali ditegaskan.

"Seingat saya waktu itu, kami kan ada dua kali tuh musyawarah. Musyawarah pertama pada saat selesai pemeriksaan terdakwa, itu masih kumpul-kumpul begitu, masih memberikan pendapatnya selama persidangan tersebut," jelas Mangapul.

"Terus ada berselang beberapa hari kemudian, saya lupa, selang musyawarah itu kami diingatkan lagi, kami kumpul lagi di ruangan Pak Erin (Erintuah), membahas perkara ini kan awalnya sudah menyatakan pendapat bebas, tapi di situ lagi dipastikan lagi apakah memang pendapatnya bebas. Akhirnya, kami sama seperti kemarin, sepakat bebas di situ baru ada kata-kata itu," lanjutnya.

Setelah kesepakatan bulat tercapai, Erintuah melontarkan ucapan 'satu pintu' yang kemudian diartikan Mangapul sebagai indikasi penerimaan 'ucapan terima kasih' dalam bentuk uang dari pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat.

'Satu Pintu' Mengarah pada Gratifikasi?

Jaksa terus mendalami makna 'satu pintu' yang diungkapkan Erintuah. Mangapul mengakui bahwa dirinya mengartikan 'satu pintu' sebagai indikasi bahwa Erintuah akan bertemu dengan Lisa Rachmat untuk menerima uang ucapan terima kasih.

"Satu pintu dalam artian memang Pak Erin itu, dia, beliau, enggak tegas mengatakan, tapi saya sudah paham maksudnya, akan bertemu dengan Lisa untuk menerima apa itu, ucapan terima kasih," kata Mangapul.

Ketika jaksa memastikan apakah 'ucapan terima kasih' tersebut berupa uang, Mangapul menjawab dengan tegas, "Uang."

Hakim Lainnya 'Sepakat' dengan 'Satu Pintu'

Lebih lanjut, Mangapul menjelaskan bahwa hakim Heru Hanindyo juga tidak menunjukkan keberatan terhadap 'satu pintu' tersebut. Dengan kata lain, ketiga hakim sepakat bahwa komunikasi dengan Lisa Rachmat terkait 'ucapan terima kasih' akan dilakukan melalui Erintuah.

"Saat itu jawabannya sepakat semua? Satu pintu itu?" tanya jaksa.

"Iya, kami sepakat dalam artian enggak ada komentar, iya saja, gitu," jawab Mangapul.

"Terdakwa Heru?" tanya jaksa mendalami.

"Sama, enggak ada istilahnya, jangan, enggak ada, pokoknya kami," ujar Mangapul.

Implikasi Hukum dan Proses Hukum Selanjutnya

Pengungkapan ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar mengenai integritas peradilan di Indonesia. Jika terbukti adanya praktik suap atau gratifikasi dalam vonis bebas Ronald Tannur, maka para hakim yang terlibat dapat dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Persidangan Tipikor ini diharapkan dapat mengungkap kebenaran secara terang benderang dan memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi di sektor peradilan.

Kasus ini menjadi tamparan keras bagi dunia peradilan dan menjadi momentum untuk melakukan pembenahan internal secara menyeluruh. Masyarakat menanti langkah konkret dari Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) untuk menindak tegas para hakim yang terbukti melanggar kode etik dan melakukan tindak pidana korupsi.