Pergeseran Tren: Migrasi Internasional Redam Daya Tarik Urbanisasi di Indonesia
Pergeseran Tren: Migrasi Internasional Redam Daya Tarik Urbanisasi di Indonesia
Arus urbanisasi yang dulu menjadi momok bagi pemerintah Indonesia, kini tampaknya mulai mereda. Kekhawatiran akan lonjakan pendatang dari desa ke kota-kota besar setiap usai Lebaran, membawa serta masalah pengangguran dan kemiskinan di perkotaan, kini sedikit berkurang. Fenomena ini bukan berarti kota-kota besar kehilangan daya tariknya, melainkan karena adanya alternatif lain yang lebih menjanjikan: migrasi internasional.
Dulu dan Sekarang: Pergeseran Orientasi Pencari Kerja
Dahulu, kota adalah tujuan utama bagi para pencari kerja dari desa. Harapan akan kehidupan yang lebih baik, pekerjaan yang layak, dan peningkatan taraf hidup menjadi daya tarik utama. Namun, globalisasi dan kebutuhan tenaga kerja di berbagai negara telah mengubah orientasi ini. Kini, bekerja di luar negeri menjadi pilihan yang semakin populer.
Faktor Pendorong Migrasi Internasional:
Beberapa faktor utama mendorong masyarakat desa untuk memilih bekerja di luar negeri:
- Gaji yang Lebih Tinggi: Pekerja migran dibayar dengan mata uang asing, seperti ringgit, dolar Singapura, dolar Brunei, real, won, yen, euro, dan dolar AS. Meskipun biaya hidup di luar negeri juga tinggi, mereka masih dapat menabung dan mengirim uang ke Indonesia.
- Peluang yang Semakin Luas: Jaringan kerja di luar negeri semakin luas, dengan banyak lowongan kerja di berbagai negara, seperti Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Korea, Jepang, Taiwan, Hong Kong, Qatar, UEA, negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Australia, Myanmar, dan Kamboja.
- Peran Agen Pencari Kerja: Agen-agen pencari tenaga kerja ke luar negeri hadir di desa-desa dengan membuka gerai dan menawarkan syarat-syarat yang mudah, seperti tidak memandang ijazah dan gaji besar. Hal ini memudahkan masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan di luar negeri.
- Tren #KaburAjaDulu: Tren ini mengajak anak-anak muda untuk mencari pekerjaan di luar negeri karena kondisi perekonomian di Indonesia yang tidak menguntungkan. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok terampil, terlatih, dan terdidik juga mencari peluang di luar negeri.
Dampak pada Urbanisasi
Jumlah pekerja migran Indonesia hingga Maret 2025 mencapai lebih dari 5,2 juta orang. Jumlah ini belum termasuk pekerja migran ilegal. Dengan jumlah yang sedemikian besar, migrasi internasional secara signifikan mengurangi arus urbanisasi dari desa ke kota.
Studi Kasus: Lulusan Universitas Pilih Kerja di Luar Negeri
Seorang perempuan lulusan universitas ternama di Indonesia memilih menjadi cleaning service di Australia daripada mencari kerja di Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun memiliki kualifikasi yang tinggi, ia memilih bekerja di luar negeri karena perekonomian di Indonesia yang tidak baik-baik saja.
Kesimpulan: Urbanisasi Bukan Lagi Pilihan Utama
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa 'hantu' urbanisasi semakin tidak menakutkan. Jumlah masyarakat yang memilih urbanisasi semakin menurun dan migrasi internasional menjadi pilihan utama. Masyarakat secara alamiah akan memilih tempat yang lebih baik, dan sepertinya urbanisasi bukan lagi menjadi pilihan utama.
Ardi Winangun, Direktur Indonesia Political Review (IPR), menyoroti pergeseran ini sebagai fenomena alamiah dalam mencari peluang yang lebih baik. Perekonomian yang kurang kondusif di dalam negeri mendorong masyarakat untuk mencari alternatif di luar negeri.
Dengan demikian, pemerintah perlu mempertimbangkan tren migrasi internasional dalam merumuskan kebijakan terkait ketenagakerjaan dan pembangunan ekonomi. Menciptakan iklim investasi yang menarik dan meningkatkan daya saing tenaga kerja lokal menjadi kunci untuk menahan laju migrasi dan memaksimalkan potensi sumber daya manusia di dalam negeri.