Harmoni Tradisi dan Generasi: Warga Malang Lestarikan Riyoyo Kupatan di Tengah Modernitas

Di tengah arus modernisasi yang deras, Kota Malang masih menyimpan permata tradisi yang berkilau: Riyoyo Kupatan. Tradisi yang dilaksanakan delapan hari setelah Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriah ini, menjadi oase budaya di Kampung Budaya Polowijen, menunjukkan komitmen warga untuk menjaga warisan leluhur.

Tradisi ini bukan sekadar perayaan, melainkan sebuah ritual kolektif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Di jantung kampung, sebuah pawon (dapur tradisional) menjadi pusat kegiatan. Di sanalah, warga bergotong royong memasak ketupat dan lauk pauk pendampingnya. Aroma khas kayu bakar dan rempah-rempah memenuhi udara, menciptakan suasana hangat dan penuh kebersamaan.

"Tradisi ini tetap kami lakukan juga untuk mengedukasi generasi yang muda-muda," ujar Isa Wahyudi, tokoh masyarakat setempat. Lebih dari sekadar melestarikan tradisi, Riyoyo Kupatan menjadi sarana transfer pengetahuan dari generasi tua ke generasi muda. Anak-anak remaja diajak belajar membuat ketupat dengan berbagai bentuk, dipandu oleh Budayawan Malang, Mbah Karjo.

Ragam Bentuk Ketupat, Simbol Kekayaan Budaya

Ketupat bukan sekadar makanan, melainkan simbol yang kaya makna. Mbah Karjo mengajarkan 12 model ketupat, masing-masing dengan nama dan filosofi tersendiri, diantaranya:

  • Kupat Luar
  • Kupat Bawang
  • Kupat Kodok
  • Kupat Sinto
  • Kupat Kepel
  • Kupat Kepala Kerbau
  • Kupat Kepala Ayam Angudari
  • Kupat Burung Merpati
  • Kupat Angsa
  • Kupat Jantung
  • Kupat Bantal
  • Kupat Kolibri
  • Kupat Candi Borobudur

Bahkan, ada varian unik bernama Kupat Candi Borobudur, sebuah penghormatan terhadap warisan budaya nasional. Keragaman bentuk ketupat ini mencerminkan kekayaan budaya Jawa yang tak lekang oleh waktu.

"Kupat sebenarnya bagi orang Jawa bukan hanya hadir di momen Idul Fitri saja, tapi di setiap acara dan upacara tradisi orang Jawa selalu ada, dan bentuk ketupatnya berbeda-beda sesuai kegunaan dan fungsi upacara," jelas Isa, menegaskan bahwa ketupat memiliki peran sentral dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa.

Prosesi Memasak yang Penuh Makna

Proses memasak ketupat pun tak kalah sakral. Ketupat dan lepet dimasak dalam periuk besar di atas tungku menggunakan kayu bakar. Proses ini memakan waktu hingga tiga jam, membutuhkan kesabaran dan ketelatenan. Sembari menunggu, warga menyiapkan sayur opor ayam sebagai pelengkap hidangan.

Sebelum menikmati hidangan, warga perempuan menampilkan tarian tradisional seperti tari Beskalan Putri Malang, tari Tembang Turi Turi Putih, dan Salam Kerong. Pertunjukan seni ini menambah semarak suasana dan mempererat tali persaudaraan.

Saling memberi ucapan selamat Lebaran dan bersalam-salaman menjadi bagian tak terpisahkan dari Riyoyo Kupatan. Para orang tua membagikan galak gampil (uang jajan Lebaran) kepada anak-anak, menciptakan momen sukacita yang tak terlupakan.

Riyoyo Kupatan di Kampung Budaya Polowijen bukan sekadar tradisi, melainkan sebuah perwujudan cinta terhadap budaya dan komitmen untuk melestarikannya. "Inilah cara kami memperkenalkan gastronomi ketupat dengan sentuhan seni budaya dan tradisi, melalui proses dari bahan baku, cara membuat ketupat, memasak, dan menyajikannya yang semua serba alami, tradisional, dan diolah di pawon," pungkas Isa Wahyudi, menutup perbincangan dengan senyum bangga.