Insentif Guru Kaltara Dihapus: PGRI Nunukan Soroti Dampak pada Guru Bergaji Rendah di Pelosok

Penghapusan Insentif Guru di Kaltara Picu Reaksi Keras PGRI Nunukan

Kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara (Pemprov Kaltara) untuk menghapus insentif bagi guru dan tenaga pendidik pada tahun 2025 menuai kritikan tajam dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Nunukan. Langkah ini dinilai akan memperburuk kondisi guru-guru yang mengabdi di wilayah perbatasan dan pedalaman, yang selama ini masih bergulat dengan gaji rendah dan minimnya fasilitas.

Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kaltara, Denny Harianto, menjelaskan bahwa penghapusan insentif ini didasari oleh pertimbangan efisiensi anggaran dan penyesuaian dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Menurut undang-undang tersebut, pengelolaan pendidikan jenjang PAUD, TK, SD, dan SMP menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota, bukan provinsi. Denny juga menambahkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan perhatian terhadap anggaran insentif ini.

"APBD adalah anggaran berbasis kinerja yang jelas. Output dan outcome harus terukur dan sesuai aturan," tegas Denny. Ia mengakui bahwa Pemprov Kaltara telah mengalokasikan insentif sebesar Rp 650.000 per orang setiap triwulan selama 10 tahun terakhir. Namun, ia tidak merinci jumlah guru yang menerima insentif tersebut. Denny menekankan bahwa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah mengarahkan agar belanja daerah difokuskan pada kewajiban dan kewenangan Pemprov Kaltara.

Kritik Pedas dari PGRI Nunukan

Ketua PGRI Nunukan, Abdul Wahid, menyayangkan keputusan Pemprov Kaltara tersebut. Ia menilai insentif tersebut sangat penting sebagai bentuk penghargaan kepada guru dan tenaga pendidik yang bertugas di wilayah dengan tingkat kesulitan tinggi.

"Sangat disayangkan, kami melihat urgensi dari tunjangan ini sebagai bentuk penghargaan kepada guru dan tenaga pendidik dalam melaksanakan tugas di wilayah yang rata-rata memiliki kesulitan tertentu dalam mengabdi, khususnya di Kaltara," ujarnya.

Wahid mengungkapkan bahwa masih banyak guru di wilayah pedalaman Nunukan yang menerima gaji di bawah Rp 500.000 per bulan. Kondisi ini diperparah dengan keterbatasan fasilitas dan infrastruktur di daerah terpencil. Ia mencontohkan kondisi di SDN 06 Krayan, beberapa sekolah di wilayah Tulin Onsoi, dan Sembakung.

"Masih ada sekitar sepuluh persen guru di Nunukan yang gajinya tidak manusiawi. Tunjangan atau insentif itu menjadi salah satu yang mereka harapkan selama ini," imbuhnya.

Wahid juga menyoroti kurangnya minat generasi muda untuk menjadi guru di daerah terpencil. Penghapusan insentif dikhawatirkan akan semakin memperburuk kondisi ini.

Upaya PGRI Nunukan

PGRI Nunukan saat ini tengah berkoordinasi dengan pengurus PGRI kabupaten/kota se-Kaltara dan pengurus provinsi untuk membahas masalah ini. Mereka berharap agar Pemprov Kaltara dapat mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut dan mengusahakan kembali tambahan tunjangan bagi guru, terutama yang bertugas di pedalaman Nunukan dan wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).

Berikut poin penting yang disoroti PGRI Nunukan:

  • Gaji Guru Rendah: Banyak guru di pedalaman Nunukan yang menerima gaji di bawah Rp 500.000 per bulan.
  • Keterbatasan Fasilitas: Infrastruktur dan fasilitas pendidikan di daerah terpencil masih sangat minim.
  • Kurangnya Minat: Penghapusan insentif dikhawatirkan akan semakin mengurangi minat generasi muda untuk menjadi guru di daerah terpencil.
  • Urgensi Insentif: Insentif merupakan bentuk penghargaan dan motivasi bagi guru yang bertugas di wilayah sulit.

PGRI Nunukan berharap Pemprov Kaltara dapat memberikan solusi terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan kualitas pendidikan di Kaltara, khususnya di wilayah perbatasan dan pedalaman.