RUU KUHAP: Koalisi Masyarakat Sipil Soroti Pembatasan Siaran Langsung Persidangan
RUU KUHAP: Koalisi Masyarakat Sipil Soroti Pembatasan Siaran Langsung Persidangan
Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyampaikan kekhawatiran mendalam terkait draf RUU KUHAP yang berpotensi membatasi kebebasan pers dalam meliput proses persidangan. Dalam pernyataan terbarunya, koalisi mendesak Komisi III DPR RI untuk menghapus pasal-pasal yang mengatur larangan siaran langsung persidangan tanpa izin dari pengadilan.
Nany Afrida, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dengan tegas menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut mengancam prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam sistem peradilan. Menurutnya, pembatasan akses media terhadap persidangan merupakan langkah mundur yang dapat menghambat kerja jurnalistik dalam mengawal proses hukum.
"Kami melihat ada beberapa pasal dalam RUU KUHAP yang berpotensi mengganggu kebebasan pers. Pembatasan akses, seperti keharusan memperoleh izin dari ketua pengadilan untuk melakukan siaran langsung, jelas bertentangan dengan prinsip transparansi yang seharusnya menjadi landasan kerja jurnalistik," ujar Nany di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Nany menambahkan bahwa peliputan persidangan oleh media merupakan bagian integral dari hak publik untuk memperoleh informasi yang akurat dan berimbang mengenai proses hukum. Terlebih, dalam kasus-kasus yang melibatkan kepentingan publik, seperti kasus korupsi atau pembunuhan berencana, keterbukaan proses persidangan menjadi krusial untuk memastikan akuntabilitas dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
"Masyarakat berhak tahu apa yang terjadi di ruang pengadilan, khususnya dalam kasus-kasus yang berdampak luas. Pembatasan akses media justru dapat menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan publik terhadap sistem peradilan," tegas Nany.
Meskipun mengakui adanya pengecualian dalam kasus-kasus tertentu, seperti persidangan yang melibatkan korban kekerasan seksual, Nany meyakini bahwa jurnalis memiliki pemahaman yang mendalam mengenai etika peliputan dan batasan-batasan yang harus dipatuhi. Ia menolak anggapan bahwa siaran langsung persidangan akan mempengaruhi keterangan saksi, dengan menyatakan bahwa saksi tetap dapat saling berkomunikasi di luar ruang sidang.
"Kami memahami bahwa ada kasus-kasus tertentu yang memerlukan perlindungan privasi, seperti kasus kekerasan seksual. Namun, jurnalis memiliki kode etik yang jelas dan mampu membedakan mana informasi yang boleh dipublikasikan dan mana yang tidak. Argumen bahwa siaran langsung akan mempengaruhi saksi juga tidak relevan, karena saksi tetap dapat berkomunikasi di luar ruang sidang," jelas Nany.
Desakan penghapusan pasal-pasal pembatasan siaran langsung persidangan dalam RUU KUHAP juga didasari oleh kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan kewenangan oleh pengadilan. Pemberian izin siaran langsung yang bersifat diskresioner dapat membuka celah bagi praktik korupsi dan kolusi, serta mengurangi independensi media dalam meliput proses hukum.
Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI, advokat Juniver Girsang mengusulkan agar RUU KUHAP melarang media melakukan siaran langsung persidangan tanpa izin pengadilan. Juniver berpendapat bahwa siaran langsung dapat mempengaruhi keterangan saksi dan mengganggu jalannya persidangan.
Namun, usulan tersebut mendapat penolakan keras dari kalangan jurnalis dan aktivis masyarakat sipil. Mereka berpendapat bahwa pembatasan siaran langsung persidangan merupakan bentuk pembungkaman kebebasan pers dan menghalangi hak publik untuk mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang.
Koalisi Masyarakat Sipil menyerukan kepada Komisi III DPR RI untuk mempertimbangkan kembali pasal-pasal yang berpotensi membatasi kebebasan pers dalam RUU KUHAP. Mereka mendesak agar DPR RI mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam proses revisi KUHAP, serta memastikan bahwa kebebasan pers tetap dijamin dan dilindungi.
Poin Penting:
- Koalisi Masyarakat Sipil mendesak DPR menghapus pasal larangan siaran langsung persidangan dalam RUU KUHAP.
- AJI menilai pasal tersebut berpotensi mengganggu kebebasan pers dan transparansi.
- Peliputan sidang adalah hak publik untuk tahu informasi proses hukum.
- Ada kekhawatiran pasal ini bisa disalahgunakan oleh pengadilan.
- Sebelumnya advokat mengusulkan larangan siaran langsung tanpa izin pengadilan.