KRL Commuter Line Berupaya Perangi Pelecehan Seksual: Antara Upaya Proaktif dan Kendala Sistem Hukum

Upaya KAI Commuter Line dalam Melawan Pelecehan di KRL

KAI Commuter Line, sebagai salah satu operator transportasi umum terkemuka, menunjukkan komitmen kuat dalam memerangi pelecehan seksual di dalam kereta. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari kampanye proaktif hingga pendampingan korban. Respons cepat terhadap laporan pelecehan menjadi prioritas, dengan fokus utama memberikan dukungan kepada korban dan memfasilitasi pelaporan ke pihak kepolisian.

Salah satu langkah signifikan yang diambil adalah pemanfaatan teknologi CCTV Analytic. Sistem ini memungkinkan KAI Commuter Line untuk melacak kejadian pelecehan secara efisien, mengidentifikasi pelaku, waktu kejadian, dan informasi relevan lainnya. Data ini kemudian digunakan untuk memberikan sanksi sesuai dengan kewenangan yang dimiliki, termasuk blacklist atau larangan menggunakan KRL. Kasus terbaru yang melibatkan penumpang perempuan yang menjadi viral, menunjukkan bagaimana KAI Commuter Line dengan cepat melakukan pelacakan dan mengonfirmasi kejadian tersebut.

Joni Martinus, VP Corporate Communication KAI Commuter, menegaskan bahwa pihaknya tidak akan berkompromi dalam menangani kasus pelecehan. Meskipun demikian, KAI Commuter Line menyadari bahwa efek jera yang dapat diberikan terbatas pada kewenangan mereka. Selain blacklist, perusahaan memberikan pendampingan kepada korban untuk melaporkan kejadian ke aparat berwenang. Pendekatan ini menunjukkan keberpihakan kepada korban dan memberikan dorongan untuk berani menempuh jalur hukum.

Kendala dalam Sistem Hukum

Namun, upaya pemberantasan pelecehan di KRL seringkali menemui kendala dalam proses hukum. Panjangnya prosedur dan kompleksitas birokrasi seringkali membuat korban menyerah. Rutinitas dan kesibukan sebagai pekerja atau mahasiswa membuat mereka kesulitan untuk mengikuti semua tahapan di ranah hukum.

Data KAI Commuter Line mencatat 57 kasus pelecehan seksual di dalam kereta selama periode Januari hingga Oktober 2024. Dari jumlah tersebut, 50 kasus dilaporkan ke kepolisian. Namun, sebagian besar kasus tersebut terhenti di tingkat penyidikan. Prosedur hukum yang panjang dan melelahkan menjadi faktor utama yang menghambat proses hingga vonis pengadilan.

Keterbatasan wewenang KAI Commuter Line memaksa mereka untuk fokus pada tindakan preventif seperti kampanye anti-pelecehan, imbauan pencegahan, pendampingan korban, dan sanksi larangan bagi pelaku. Namun, tanpa dukungan sistem hukum yang responsif, upaya ini belum memberikan efek jera yang signifikan.

Perlunya Mekanisme yang Lebih Ramah Korban

Oleh karena itu, diperlukan mekanisme hukum yang lebih ramah terhadap korban pelecehan seksual. Proses hukum yang sederhana dan cepat sangat penting untuk memastikan keadilan dapat ditegakkan tanpa membebani korban secara berlebihan. Korban pelecehan seringkali mengalami trauma psikologis yang mendalam, sehingga membutuhkan dukungan dan pendampingan yang komprehensif.

Kurangnya efek jera dari sisi hukum menyebabkan pelaku pelecehan terus bermunculan. Mereka merasa tidak akan ada konsekuensi serius atas tindakan mereka. Oleh karena itu, aparat penegak hukum perlu memberikan perhatian ekstra terhadap kasus pelecehan dan menanganinya secara serius. Penanganan kasus tidak boleh hanya berhenti pada surat pernyataan yang ditandatangani pelaku, tetapi harus berlanjut hingga proses hukum yang memberikan sanksi setimpal.

Keterlibatan berbagai elemen masyarakat juga dibutuhkan untuk membantu korban mendapatkan keadilan. Pelaku harus dibawa ke pengadilan dan dihukum sesuai dengan perbuatannya. Hal ini akan menciptakan ruang aman bagi semua orang, terutama perempuan, untuk bepergian tanpa rasa takut menjadi korban pelecehan. Empati terhadap korban menjadi kunci utama dalam menciptakan sistem yang berpihak pada mereka.

KAI Commuter Line dan operator transportasi umum lainnya memiliki keterbatasan wewenang dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, aparat penegak hukum memiliki peran penting dalam menangani kasus pelecehan dengan serius dan memberikan keadilan bagi korban. Keseriusan dan ketegasan hukum adalah bukti konkret yang dinanti-nantikan oleh para korban.

Kesimpulan

Peran aktif KAI Commuter Line dalam mengkampanyekan anti kekerasan seksual pada transportasi publik patut diapresiasi, namun demikian, sistem hukum yang ada masih menjadi kendala utama. Untuk mewujudkan transportasi publik yang aman dan nyaman bagi semua pihak, diperlukan sinergi antara operator transportasi, aparat penegak hukum, dan masyarakat. Dengan mekanisme hukum yang responsif dan dukungan yang komprehensif bagi korban, diharapkan kasus pelecehan seksual di transportasi publik dapat ditekan secara signifikan.