Sidang Suap Vonis Bebas Ronald Tannur: Hakim Heru Sebut Diri 'Pelatih', Bukan Lagi 'Pemain'
Hakim Heru Hanindyo Mengklaim Diri 'Pelatih' dalam Sidang Kasus Suap
Hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Heru Hanindyo, menggunakan metafora 'pemain' dan 'pelatih' saat memberikan keterangan dalam sidang kasus dugaan suap terkait vonis bebas Gregorius Ronald Tannur. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Selasa (8/2/2025), Heru mengklaim dirinya sudah 'terlatih' dan bukan lagi seorang 'pemain'.
Pernyataan ini muncul ketika kuasa hukum Heru mempertanyakan mengenai penggeledahan rumahnya oleh penyidik Kejaksaan Agung RI. Heru menjelaskan bahwa saat penggeledahan, penyidik tidak membawa surat izin dari Ketua PN Surabaya.
"Saat itu Yang Mulia, hanya ditunjukkan surat perintah penggeledahan. Saya bertanya, 'Dasarnya apa?'. Mereka menunjukkan surat perintah penanganan perkara. Saya langsung menghubungi pimpinan MA dan menanyakan apakah penyidik memerlukan izin. Jawaban yang saya terima adalah tidak perlu. Padahal, menurut saya, mereka seharusnya memerlukan izin," ujar Heru.
Heru berpendapat bahwa penyidik masih memiliki waktu yang cukup untuk mengurus izin penggeledahan sesuai dengan ketentuan KUHAP. Ia juga mengklaim bahwa sejumlah pejabat tinggi pengadilan turut hadir di rumahnya saat penggeledahan berlangsung.
"Wakil Ketua Pengadilan Negeri saat itu, Bapak Rustanto (yang sekarang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri), bahkan merasa tersinggung karena penyidik tidak meminta izin. Sementara surat perintahnya itu tertanggal 4 Oktober, dan penggeledahan dilakukan pada 23 Oktober. Jadi, sesuai KUHAP, mereka masih punya waktu yang cukup untuk meminta izin," jelas Heru.
Bantahan Terkait OTT dan Pembagian Uang
Lebih lanjut, Heru membantah bahwa penangkapannya merupakan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Ia menekankan bahwa dirinya paham hukum dan sering menangani perkara praperadilan.
"Lalu dikatakan bahwa itu beritanya OTT, kenapa saya, bukanya saya tidak kooperatif. Sekali lagi karena saya tahu hukum, bagaimana kita sering menangani praperadilan, kita tahu. Kita terlatih, bukan pemain lagi, kita udah pelatih. Kita melihat di situ rangkaiannya dan kita diikat dalam pembinaan tentang Pasal 26 UU Peradilan Umum," ujar Heru.
Heru juga mengklaim bahwa ia tidak menerima berita acara penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan. Ia menilai hal ini melanggar asas KUHAP dan hak sipil.
Dalam sidang tersebut, Heru juga menyinggung mengenai perjalanan dinas yang sering dilakukannya selama penanganan perkara Ronald Tannur. Ia menyebutkan bahwa tugas dinas ke luar negeri sudah dimulai sejak April 2024.
"Di sekitar bulan Juni 2024, selama Saudara bertugas menangani perkara Ronald Tannur, adakah perjalanan dinas dari kantor ataupun instansi saudara?" tanya kuasa hukum Heru.
"Pada saat April sampai dengan Mei Yang Mulia, itu saya ada perjalanan luar negeri ke Eropa," jawab Heru.
"Ya saya jelaskan dulu yang April sampai Mei itu karena berkaitan kemarin dengan invoicenya Lisa Rachmat itu, saya berada di luar negeri sehingga tidak ada kaitannya. Sudah yang disampaikan," imbuh Heru.
Heru mengatakan izin tak masuk ke kantor pada 3 Juni 2024. Dia mengaku melakukan operasi saraf gigi di Jakarta.
Bantahan Menerima Suap
Selain itu, Heru membantah menerima uang suap terkait vonis bebas Ronald Tannur. Ia juga menegaskan bahwa dirinya tidak pernah meminta untuk menangani perkara tersebut.
"Apakah ada inisiatif dari Saudara untuk meminta perkara kepada Pak Rudi Suparmono untuk Saudara mengadili Ronald Tannur?" tanya kuasa hukum Heru.
"Wallahi Taulahhi, ya demi Allah, Muhammad Rossulullah saya tidak pernah meminta perkara ini baik langsung atau tidak langsung," jawab Heru.
Dakwaan Jaksa dan Kronologi Kasus
Dalam kasus ini, jaksa mendakwa tiga hakim PN Surabaya, termasuk Heru, menerima suap sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308 ribu (setara Rp 3,6 miliar) terkait vonis bebas Ronald Tannur atas kematian kekasihnya, Dini Sera Afrianti.
Kasus ini bermula ketika Ronald Tannur terjerat hukum atas kematian Dini Sera Afrianti. Ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja, kemudian berupaya agar anaknya dibebaskan. Ia meminta bantuan pengacara bernama Lisa Rahmat, yang kemudian menghubungi mantan pejabat MA, Zarof Ricar, untuk mencarikan hakim PN Surabaya yang bersedia memberikan vonis bebas kepada Ronald Tannur.
Singkat cerita, suap diberikan, dan Ronald Tannur dibebaskan. Namun, belakangan terungkap bahwa vonis bebas tersebut diberikan karena suap. Jaksa kemudian mengajukan kasasi, yang dikabulkan oleh MA. Ronald Tannur akhirnya divonis 5 tahun penjara.