Kontroversi Penggunaan Burung Hantu untuk Kendalikan Tikus Sawah: Janji Prabowo Dipertanyakan Pakar UGM

Efektivitas Burung Hantu dalam Mengatasi Hama Tikus Sawah Diragukan

Janji Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk memberikan 1.000 ekor burung hantu sebagai solusi mengatasi serangan hama tikus di lahan pertanian, khususnya di Majalengka, Jawa Barat, menuai tanggapan beragam. Meskipun inisiatif ini bertujuan baik, seorang pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) meragukan efektivitas metode tersebut dalam konteks persawahan.

Prof. Witjaksono, Guru Besar Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian UGM, berpendapat bahwa penggunaan burung hantu lebih efektif di perkebunan kelapa sawit dibandingkan di sawah padi. Berdasarkan penelitian dan survei yang dilakukannya, tikus sawah cenderung bergerak di area tersembunyi, seperti pinggiran pematang sawah atau di antara batang padi yang lebat. Kondisi ini menyulitkan burung hantu untuk memburu tikus secara efektif.

"Burung hantu tidak mungkin masuk ke dalam batang padi yang lebat," tegas Witjaksono, menyoroti perilaku alami tikus yang selalu menyisakan bagian pinggir tanaman padi sebagai bentuk perlindungan diri dari predator. Insting ini membuat tikus sulit dijangkau oleh burung hantu yang mengandalkan penglihatan untuk berburu.

Berbeda dengan sawah, perkebunan kelapa sawit memiliki kondisi lingkungan yang lebih terbuka, sehingga tikus lebih mudah terlihat dan disergap oleh burung hantu. Selain itu, Witjaksono juga menyoroti bahwa burung hantu tidak mengonsumsi tikus secara utuh, melainkan seringkali menyisakan bagian tubuh atau memuntahkan kembali bagian yang tidak tercerna. Hal ini menimbulkan keraguan tentang seberapa besar dampak burung hantu terhadap populasi tikus di sawah.

Alternatif Pengendalian Tikus yang Lebih Efektif: Sistem Trap Barrier System (TBS)

Meskipun ada laporan keberhasilan penggunaan burung hantu di beberapa wilayah seperti Demak, Witjaksono menekankan perlunya penelitian lebih lanjut untuk memastikan apakah penurunan populasi tikus benar-benar disebabkan oleh pemangsaan atau hanya karena tikus merasa terancam dan berpindah tempat.

Sebagai alternatif yang lebih efektif, Witjaksono menyarankan penerapan sistem Trap Barrier System (TBS). Sistem ini melibatkan penanaman padi di lahan kecil seluas sekitar 100 meter persegi, tiga minggu lebih awal dari sawah utama. Lahan ini kemudian dikelilingi oleh pagar plastik dan dipasang perangkap tikus di titik-titik tertentu.

"Tanaman padi di dalam TBS ini ditanam 3 minggu lebih awal karena pada fase itu tanaman padi mengeluarkan bau yang sangat disukai tikus," jelas Witjaksono. Dengan demikian, TBS berfungsi sebagai daya tarik bagi tikus, sehingga mereka terperangkap dan dapat ditangkap secara massal.

Witjaksono mencontohkan keberhasilan penerapan TBS di wilayah Sleman Barat, Kapanewon Minggir, yang mampu menangkap hingga 180 ekor tikus dalam satu musim. Di wilayah Pantura, hasilnya bahkan bisa mencapai ribuan ekor per musim. Meskipun investasi awal TBS mungkin lebih mahal dibandingkan pengadaan burung hantu, alat dan perlengkapan TBS dapat digunakan berulang kali dan terbukti lebih efektif dalam menangkap tikus.

Dukungan untuk Upaya Pengendalian Hama Tikus

Terlepas dari keraguan tentang efektivitas burung hantu, Witjaksono tetap mendukung inisiatif Presiden Prabowo dalam menangani hama tikus. Ia mengakui bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus sangat serius bagi petani dan memerlukan solusi yang efektif. Witjaksono berharap pemerintah dapat mempertimbangkan berbagai pendekatan, termasuk TBS, untuk mencapai hasil yang optimal dalam pengendalian hama tikus di lahan pertanian.

  • Keunggulan TBS:

    • Dapat digunakan berulang kali.
    • Lebih efektif menangkap tikus dalam jumlah besar.
    • Mengurangi penggunaan bahan kimia berbahaya.
  • Kekurangan TBS:

    • Membutuhkan investasi awal yang lebih besar.
    • Membutuhkan perawatan dan pemantauan rutin.