Krayan dalam Pusaran Ironi: Antara Nasionalisme dan Ketergantungan Ekonomi pada Malaysia

Krayan dalam Pusaran Ironi: Antara Nasionalisme dan Ketergantungan Ekonomi pada Malaysia

Krayan, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia, kembali menjadi sorotan tajam. Ryan Antoni, Ketua Komisi III DPRD Nunukan, menyerukan perhatian mendalam terhadap kondisi yang paradoks di wilayah tersebut. Ungkapan pedas namun faktual, "Garuda di Dadaku, Malaysia di Perutku," menjadi cerminan pahit ketergantungan masyarakat Krayan pada produk-produk Malaysia, akibat aksesibilitas yang serba terbatas.

"Ini bukan sekadar ungkapan sinis, ini adalah realitas yang dihadapi masyarakat Krayan setiap hari," tegas Ryan. Selama bertahun-tahun, warga Krayan harus mengandalkan pasokan kebutuhan pokok dari negara tetangga karena minimnya konektivitas dengan wilayah Indonesia lainnya. Ironisnya, Krayan menyimpan potensi sumber daya alam yang luar biasa, termasuk beras berkualitas tinggi dan hasil pertanian lainnya. Namun, potensi ini belum dapat dioptimalkan karena terkendala status kawasan konservasi yang melingkupi dataran tinggi Krayan.

Potensi yang Terpendam

Kondisi ini, menurut Ryan, menjadikan Krayan seperti "anak tiri" di mata Indonesia sendiri. Produksi pertanian masih dilakukan secara tradisional dan belum mampu mengangkat Krayan menjadi daerah swasembada pangan atau sektor andalan yang berkontribusi signifikan pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) Nunukan. Lebih jauh, Ryan menyoroti betapa Krayan terasa seperti "luar negeri" bagi Indonesia sendiri. Permasalahan utama terletak pada aksesibilitas dan konektivitas yang buruk.

"Bagaimana masyarakat bisa membawa kendaraan dari Indonesia jika jalannya tidak ada? Satu-satunya cara adalah melalui jalur udara yang kapasitasnya sangat terbatas," ujarnya.

Urgensi Kebijakan Diskresi

Untuk mengatasi permasalahan ini, Ryan mengusulkan kebijakan diskresi khusus dari pemerintah pusat. Ia berpendapat bahwa jika material pembangunan dapat diperoleh dari Malaysia, pembangunan infrastruktur di Krayan tidak akan terhambat. Kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), yang mewajibkan penggunaan material dalam negeri, justru menjadi kendala utama, mengingat akses darat dari wilayah Indonesia belum memadai.

"Pos lintas batas negara saja belum selesai dibangun karena konektivitas yang buruk, diperparah dengan kebijakan TKDN. Selama akses belum terbuka, pembangunan infrastruktur tidak akan terealisasi," tegasnya.

Ryan menekankan perlunya fleksibilitas dalam penerapan kebijakan. Ia mencontohkan adanya otonomi khusus di Papua dan Aceh, dan bertanya mengapa tidak ada aturan turunan yang mengakomodasi kondisi khusus Krayan, termasuk menghormati kearifan lokal.

Kearifan Lokal dan Hubungan Lintas Batas

Ia menyoroti hubungan dagang tradisional yang terjalin antara masyarakat Krayan dan warga Malaysia, yang sebenarnya merupakan satu komunitas lintas batas. Hubungan ini, menurutnya, perlu diakomodasi dalam kebijakan pemerintah.

Meski menghadapi berbagai tantangan, Ryan tetap optimistis terhadap nasionalisme masyarakat Krayan. Ia mencontohkan perayaan 17 Agustus di Krayan yang berlangsung hampir sebulan penuh, sebagai bukti kuatnya rasa nasionalisme mereka. "Saya yakin mereka memegang teguh rasa nasional. Perayaan 17 Agustus di Krayan bisa berlangsung hampir sebulan, satu-satunya di Indonesia. Itu bukti prinsip nasionalisme mereka kuat," pungkasnya.

Solusi dan Harapan

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan solusi komprehensif yang melibatkan:

  • Peningkatan Infrastruktur: Membangun jalan dan infrastruktur yang menghubungkan Krayan dengan wilayah lain di Indonesia.
  • Kebijakan Diskresi: Menerapkan kebijakan khusus yang memungkinkan penggunaan material dari Malaysia untuk pembangunan di Krayan.
  • Pengembangan Potensi Lokal: Mengembangkan potensi pertanian dan sumber daya alam Krayan untuk meningkatkan perekonomian lokal.
  • Peningkatan Aksesibilitas: Meningkatkan frekuensi dan kapasitas penerbangan ke Krayan.
  • Perlindungan Kearifan Lokal: Menghormati dan melindungi kearifan lokal masyarakat Krayan.

Dengan solusi yang tepat, Krayan dapat keluar dari pusaran ironi dan menjadi wilayah yang maju dan sejahtera, tanpa harus mengorbankan rasa nasionalisme dan identitasnya sebagai bagian dari Indonesia.