Jakarta Kembali Berdenyut: Ekonomi Mikro Menggeliat Seiring Kembalinya Aktivitas Perkantoran Pasca-Lebaran
Jakarta Kembali Berdenyut: Ekonomi Mikro Menggeliat Seiring Kembalinya Aktivitas Perkantoran Pasca-Lebaran
Setelah menikmati libur panjang Lebaran 2025, denyut nadi Jakarta kembali berirama. Kembalinya para pekerja kantoran ke ibu kota pada Selasa (8/4/2025) menjadi angin segar bagi para pelaku usaha mikro, khususnya pedagang makanan di sekitar kawasan perkantoran. Aktivitas ekonomi perlahan pulih, menghidupkan kembali roda perputaran uang di sektor informal.
Para pedagang makanan, yang sebagian besar memilih untuk beristirahat selama masa libur Lebaran, kini kembali menjajakan dagangannya. Aroma menggugah selera dari nasi uduk, nasi rames, pecel ayam, nasi padang, hingga mi ayam kembali meramaikan sudut-sudut jalanan dan lorong-lorong perkantoran. Kehadiran mereka bukan sekadar menawarkan pilihan kuliner, tetapi juga simbol kembalinya aktivitas ekonomi yang sempat melambat.
Optimisme Pedagang Menyambut Pelanggan Setia
Mamat (60), seorang penjual nasi uduk yang telah lama berjualan di Jalan Tanah Abang I, Jakarta Pusat, mengungkapkan kegembiraannya. "Orang kantor mulai masuk, kami jualan," ujarnya dengan senyum sumringah. Baginya, libur Lebaran adalah momen yang tepat untuk beristirahat, mengingat sepinya pembeli akibat banyak pekerja yang mudik atau berlibur.
"Minggu kemarin, kami libur karena sepi pembeli. Saya takut tidak laku jika pembeli sepi, jadi lebih baik tidak jualan," jelas Mamat. Ia menambahkan bahwa selama libur Lebaran, pasar juga tidak beroperasi, sehingga ia kesulitan mendapatkan bahan-bahan untuk berjualan. Kini, dengan kembalinya aktivitas perkantoran, Mamat dan pedagang lainnya serentak kembali berjualan, menawarkan hidangan lezat dengan harga terjangkau, mulai dari Rp 8.000 per porsi.
Senada dengan Mamat, Isah (44), seorang pedagang menu sarapan dan makan siang, juga merasakan optimisme yang sama. "Sekarang orang kantor sudah mulai masuk, jadi kami mulai jualan lagi, dan mulai ramai pembeli," katanya. Ia mengaku enggan berjualan pada minggu lalu karena sepinya pembeli akibat para pekerja yang masih menikmati libur Lebaran. Kini, Isah kembali menawarkan hidangan lezatnya dengan harga Rp 10.000 per porsi, berharap para pelanggan setianya kembali berdatangan.
Toni (43), pedagang lainnya di kawasan tersebut, menjelaskan bahwa mereka mengikuti jadwal libur para pekerja kantoran. "Kami ikut pemerintah. Kalau orang kantor libur, kami juga libur. Tapi, kalau mereka masuk, kami juga ikut buka," ujarnya. Toni menawarkan makanannya seharga Rp 10.000 per porsi dengan dua lauk pilihan, siap memanjakan lidah para pekerja yang kembali beraktivitas.
Tantangan Kebijakan WFH dan Harapan akan Stabilitas Ekonomi
Namun, di tengah geliat aktivitas ekonomi ini, kebijakan Work From Home (WFH) menjadi tantangan tersendiri bagi para pedagang. Beberapa pekerja masih menerapkan WFH setelah libur Lebaran, yang berdampak signifikan pada pendapatan para pedagang.
Mamat merasakan penurunan penghasilan sekitar 50 persen ketika banyak pekerja yang WFH. "Biasanya saya mendapatkan penghasilan mencapai Rp 600.000. Namun saat WFH, bisa turun menjadi Rp 200.000 atau Rp 300.000 per hari," jelasnya.
Isah pun merasakan dampak yang sama. Ia berharap kebijakan WFH tidak diteruskan karena pendapatannya sangat bergantung pada kehadiran pekerja kantoran. "WFH memengaruhi saya banget karena pembeli jadi enggak ada. Biasanya, pembeli orang kantor, tapi kalau banyak WFH jadi sepi banget," ucapnya.
Toni juga mengeluhkan penurunan drastis dalam jumlah pembeli akibat WFH. "Biasanya saya mendapatkan lebih dari Rp 800.000 per hari, tetapi saat WFH, bisa turun menjadi sekitar Rp 300.000," lanjutnya.
Para pedagang berharap pemerintah dan perusahaan dapat mempertimbangkan kembali kebijakan WFH, terutama setelah masa libur Lebaran usai. Stabilitas ekonomi mikro sangat bergantung pada aktivitas perkantoran dan kehadiran para pekerja sebagai konsumen utama.
Adaptasi Pekerja dan Semangat Lebaran yang Masih Terasa
Seiring dengan kembalinya pekerja ke kantor, banyak dari mereka yang mengaku masih membutuhkan waktu untuk beradaptasi setelah libur panjang. Linda (26), seorang karyawan swasta, mengungkapkan bahwa ia masih merasa lelah setelah menjalani banyak agenda silaturahmi selama Lebaran. "Jujur masih butuh adaptasi banget karena kan liburnya cukup lama dan padat sama kegiatan Lebaran," ucapnya. Namun, ia enggan untuk mengambil cuti tambahan dan berusaha untuk segera menyesuaikan diri dengan ritme kerja.
Reza (26) juga merasakan hal yang sama. Ia mengaku bingung dengan jam masuk kerja yang kembali normal setelah bulan puasa. "Nah, hari ini sudah mulai normal lagi masuk jam 07.30 WIB. Jadi bingung antara takut kecepatan atau kesiangan sampai kantor," jelasnya. Selain itu, Reza harus beradaptasi lagi dengan waktu tidur selama bekerja lantaran saat libur Lebaran ia selalu begadang.
Suasana Lebaran pun masih terasa di kalangan para pekerja. Reza mengaku semangat kerjanya masih di angka 60 persen. "Apalagi saya orang Betawi banyak keluarga di Jakarta, sehingga harus halal bihalal satu per satu. Suasana ini masih nempel pas hari pertama masuk kerja, pengennya dekat terus sama keluarga," ujarnya.
Linda juga merasakan hal yang serupa, menyatakan semangat kerjanya baru mencapai 50 persen. "Libur Lebaran kemarin lebih banyak digunakan untuk silaturahmi ke keluarga, sehingga kurang untuk istirahat. Jadi, kerja jadi belum semangat," katanya. Linda mengatakan, selama lebih dari satu minggu liburan Lebaran belum menggunakan waktunya untuk berwisata.
Kembalinya aktivitas perkantoran di Jakarta pasca-Lebaran membawa harapan baru bagi para pelaku usaha mikro. Meskipun tantangan kebijakan WFH masih menjadi perhatian, optimisme tetap terpancar dari para pedagang yang siap menyambut pelanggan setia mereka. Adaptasi pekerja terhadap rutinitas kerja juga menjadi bagian dari proses pemulihan ekonomi pasca-libur panjang. Semoga denyut nadi Jakarta terus berirama, membawa kesejahteraan bagi seluruh warganya.