Revisi UU Polri: Penguatan Pengawasan Internal dan Adaptasi Terhadap Kejahatan Digital Lebih Mendesak Daripada Penambahan Wewenang
Revisi UU Polri: Fokus pada Pengawasan dan Adaptasi Digital
Revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) seharusnya lebih menekankan pada penguatan mekanisme pengawasan internal dan eksternal serta peningkatan kemampuan Polri dalam menghadapi tantangan kejahatan di era digital. Penambahan wewenang yang berlebihan, khususnya penempatan personel di luar instansi, dinilai kurang relevan dibandingkan kebutuhan mendesak untuk membenahi internal Polri dan menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi.
Sorotan publik terhadap kinerja Polri belakangan ini, dipicu oleh serangkaian kasus yang melibatkan oknum anggota kepolisian, menggarisbawahi pentingnya reformasi internal. Kasus-kasus tersebut, mulai dari dugaan intimidasi hingga tindak pidana yang lebih serius, mencoreng citra institusi dan mengikis kepercayaan masyarakat. Penguatan pengawasan, baik dari internal Polri maupun melalui lembaga eksternal seperti Kompolnas, menjadi krusial untuk mencegah terulangnya pelanggaran dan memastikan anggota Polri bekerja secara profesional dan akuntabel.
Urgensi Adaptasi Terhadap Kejahatan Digital
Komisioner Kompolnas, Choirul Anam, menekankan bahwa revisi UU Polri harus mempertimbangkan dinamika perkembangan masyarakat, terutama dalam konteks kejahatan digital. Kejahatan siber telah berevolusi menjadi berbagai bentuk, mulai dari phishing dan cyber terrorism hingga ransomware, carding, skimming, cyber bullying, dan doxing. Metode konvensional dalam pembuktian tindak pidana tidak lagi memadai untuk mengungkap dan menindak pelaku kejahatan di dunia maya.
"Kalau kita ikut logika berpikir pembuktian yang masa lalu, ya enggak akan ada penegakan hukum yang maksimal. Karena, logika pembuktian dalam konteks digital berbeda dengan konteks konvensional," jelas Anam.
Oleh karena itu, revisi UU Polri harus memasukkan ketentuan yang memungkinkan aparat penegak hukum untuk melakukan investigasi dan penuntutan terhadap kejahatan siber secara efektif. Hal ini meliputi peningkatan kapasitas personel Polri dalam bidang forensik digital, pengembangan teknologi untuk mendeteksi dan mencegah kejahatan siber, serta kerja sama dengan lembaga-lembaga lain yang memiliki keahlian di bidang teknologi informasi.
Pandangan Presiden Prabowo
Presiden Prabowo Subianto sebelumnya telah menyampaikan pandangannya mengenai revisi UU Polri. Beliau berpendapat bahwa wewenang yang dimiliki Polri saat ini sudah cukup untuk melaksanakan tugas sebagai aparat penegak hukum. Penambahan wewenang, menurut beliau, perlu dipertimbangkan secara cermat dan disesuaikan dengan kebutuhan yang mendesak.
"Kalau dia sudah diberi wewenang cukup, ya kenapa harus ditambah? Jadi ini tinggal kita menilai secara arif gradasi itu," kata Prabowo.
Pandangan Presiden Prabowo sejalan dengan fokus pada penguatan internal dan adaptasi terhadap kejahatan digital. Alih-alih menambah wewenang yang berpotensi disalahgunakan, lebih baik memperkuat mekanisme pengawasan dan meningkatkan kemampuan Polri dalam menghadapi tantangan yang ada.
Fokus DPR pada KUHAP
RUU Polri sendiri telah ditetapkan sebagai RUU usul inisiatif DPR. Namun, hingga saat ini, Komisi III DPR masih fokus pada pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Anggota Komisi III DPR, Hinca Panjaitan, menyatakan bahwa belum ada pembahasan mengenai RUU Polri di komisi tersebut.
Kesimpulan
Revisi UU Polri merupakan momentum penting untuk membenahi institusi kepolisian dan meningkatkan kinerjanya dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, penambahan wewenang bukanlah satu-satunya solusi. Penguatan pengawasan internal dan eksternal serta adaptasi terhadap kejahatan digital merupakan prioritas utama yang harus diperhatikan dalam revisi UU Polri.