Petambak Udang Lampung Terancam Kebijakan Tarif Resiprokal AS: Industri Budidaya di Ujung Tanduk?
Kebijakan Tarif Resiprokal AS Guncang Petambak Udang Lampung
Kecemasan melanda para petambak udang di Lampung menyusul penetapan kebijakan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat (AS). Kebijakan yang berpotensi memukul industri budidaya udang nasional ini, khususnya bagi petambak skala kecil, menimbulkan kekhawatiran akan keberlangsungan usaha mereka.
Menurut Arie Suharso, Pengurus DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), tarif resiprokal ini akan menambah beban tarif ekspor dari AS ke Indonesia sebesar 32 persen dari harga komoditas. "Ini pukulan telak bagi industri budidaya udang, terutama bagi petambak kecil di areal tambak lama seperti eks Dipasena," ungkap Arie.
Ketergantungan Ekspor dan Rentannya Petambak Skala Kecil
Udang merupakan komoditas ekspor perikanan andalan Indonesia. Data menunjukkan, pada tahun 2023, nilai ekspor udang ke AS mencapai US$1,1 miliar, setara dengan 58,1 persen dari total ekspor perikanan ke AS dan lebih dari 64 persen dari total ekspor udang Indonesia ke seluruh dunia. Namun, tuduhan praktik dumping yang dilayangkan AS sejak tahun 2024 telah mengganggu stabilitas harga. Meskipun tarif antidumping sempat diturunkan menjadi 3,9 persen pada Oktober 2024, dampaknya masih sangat dirasakan oleh para petambak.
"Udang berbeda dengan komoditas lain seperti ayam atau sapi yang mudah diserap pasar domestik. Konsumsi udang di dalam negeri masih rendah, sehingga ketika ekspor terhambat, kami yang langsung merasakan dampaknya," jelas Arie, yang juga seorang petambak udang aktif di Rawajitu Timur, Tulang Bawang.
Kondisi petambak udang skala kecil saat ini, menurut Arie, sudah sangat memprihatinkan, bahkan sebelum adanya kebijakan tarif ini. Mereka bergulat dengan berbagai masalah, antara lain:
- Serangan penyakit: Wabah penyakit seperti AHPND (Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease) dan EHP (Enterocytozoon hepatopenaei) terus bermutasi dan menyerang tambak.
- Kondisi tambak yang menua: Infrastruktur tambak yang sudah tua menyebabkan produktivitas menurun.
- Keterbatasan akses: Minimnya akses terhadap teknologi, permodalan, dan pasar yang dikuasai oleh eksportir besar semakin memarginalkan petambak.
Pemerintah Diharapkan Bertindak Nyata
Arie menyayangkan minimnya tindakan konkret dari pemerintah pusat, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), untuk melindungi para pembudidaya kecil dari dampak kebijakan internasional. Ia berharap pemerintah memberikan dukungan nyata, seperti:
- Program perbaikan infrastruktur tambak
- Pelatihan pengendalian penyakit
- Penguatan Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan)
- Akses pasar yang lebih luas
"Jangan hanya membuat target produksi dan mengandalkan ekspor ke AS," tegasnya.
KNTI juga mendesak pemerintah untuk mempercepat upaya perlindungan petambak skala kecil melalui pendekatan pembangunan berbasis keadilan. Tanpa keberpihakan yang jelas, Indonesia berisiko kehilangan ratusan ribu hektar unit usaha tambak rakyat yang selama ini menjadi tulang punggung produksi udang nasional.
Kebijakan tarif resiprokal AS ini menjadi ujian berat bagi industri budidaya udang Indonesia. Dukungan dan keberpihakan pemerintah terhadap petambak skala kecil menjadi kunci untuk menjaga keberlangsungan industri ini dan mata pencaharian jutaan masyarakat yang bergantung padanya.