Dilema Multipolaritas: Analisis Kebijakan Kontroversial dan Dampak Diplomasi Era Trump
Era Trump: Antara Kebijakan Domestik Radikal dan Guncangan Tatanan Global
Kepemimpinan Donald Trump, sejak awal pemerintahannya, telah memicu perdebatan sengit di panggung politik global. Kebijakan-kebijakannya, yang seringkali kontroversial dan tidak konvensional, tidak hanya mengubah lanskap politik domestik Amerika Serikat, tetapi juga berdampak signifikan terhadap tatanan dunia yang ada. Mulai dari reformasi internal yang drastis, seperti pemangkasan anggaran USAID dan deportasi imigran ilegal, hingga langkah-langkah eksternal yang mengejutkan, seperti perubahan nomenklatur Teluk Meksiko dan penarikan diri AS dari organisasi dan perjanjian multilateral penting seperti WHO dan Perjanjian Paris, Trump telah mengguncang fondasi liberalisme global.
"America First": Prioritas Domestik di Atas Kerja Sama Internasional
Salah satu prinsip utama yang mendasari kebijakan Trump adalah doktrin "America First". Doktrin ini menekankan prioritas utama pada kepentingan nasional AS, seringkali dengan mengorbankan kerja sama dan komitmen internasional. Trump memandang kebijakan liberal pendahulunya, yang berfokus pada bantuan luar negeri dan keterlibatan dalam isu-isu global, sebagai pemborosan sumber daya yang seharusnya dialokasikan untuk menyelesaikan masalah domestik. Akibatnya, pemerintahannya memangkas bantuan keuangan untuk Ukraina, mempercepat deportasi imigran ilegal, dan menghentikan program pembangunan USAID di berbagai negara mitra. Kebijakan-kebijakan ini mencerminkan keengganan Trump untuk terlibat dalam urusan luar negeri kecuali jika sejalan dengan visinya untuk meningkatkan kondisi ekonomi dan keamanan di dalam negeri.
Ancaman Persaingan AS-China
Di balik retorika "America First", terdapat kekhawatiran mendalam terhadap kebangkitan ekonomi negara-negara berkembang, terutama China. Trump melihat kebangkitan ini sebagai ancaman terhadap dominasi AS di panggung global dan berusaha untuk melawan tren ini melalui kebijakan proteksionis dan perang tarif. Langkah-langkah ini, meskipun bertujuan untuk melindungi industri dan lapangan kerja AS, justru memicu ketegangan perdagangan dengan negara-negara lain dan merusak tatanan perdagangan multilateral yang selama ini menjadi pilar stabilitas ekonomi global.
Multilateralisme di Bawah Tekanan
Keputusan Trump untuk menarik diri dari organisasi dan perjanjian multilateral juga merupakan pukulan telak bagi sistem kerja sama internasional. Trump berpendapat bahwa keanggotaan AS dalam organisasi-organisasi ini merugikan kepentingan nasional, karena AS harus memberikan kontribusi besar tanpa mendapatkan manfaat yang sepadan. Ia juga percaya bahwa organisasi-organisasi ini membatasi kedaulatan AS dan menghalangi kemampuan negara untuk bertindak secara independen dalam mengejar kepentingan nasionalnya. Namun, kritik dari para pengamat politik menunjukan bahwa kebijakan Trump melemahkan kemampuan dunia untuk mengatasi tantangan global yang kompleks, seperti perubahan iklim, pandemi, dan konflik bersenjata.
Retorika Konfrontatif dan Risiko Eskalasi
Selain kebijakan-kebijakannya yang kontroversial, gaya diplomasi Trump yang konfrontatif dan retorikanya yang seringkali provokatif juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat internasional. Pernyataan-pernyataannya tentang relokasi penduduk Gaza dan akuisisi Greenland, misalnya, dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma-norma diplomatik dan berpotensi memicu kesalahpahaman, ketidakpastian, dan kebencian. Ketidakpastian yang diciptakan oleh Trump telah mendorong banyak negara untuk memperkuat pertahanan mereka sendiri dan mencari aliansi baru sebagai langkah antisipasi terhadap potensi konflik.
Implikasi bagi Negara-Negara Selatan
Bagi negara-negara berkembang di selatan, kebijakan dan diplomasi Trump menghadirkan dilema yang kompleks. Di satu sisi, mereka mungkin tergoda untuk mencari keuntungan dari persaingan antara AS dan China dengan memainkan kedua kekuatan tersebut satu sama lain. Di sisi lain, mereka juga menyadari risiko terjebak dalam konflik atau perang dingin baru antara kedua negara adidaya tersebut. Negara-negara selatan juga menghadapi tantangan untuk menjaga hubungan baik dengan AS tanpa mengorbankan kepentingan nasional mereka atau melanggar prinsip-prinsip kedaulatan dan non-intervensi.
Perubahan Gaya Diplomasi
Untuk mengurangi ketidakpastian dan saling curiga di antara masyarakat internasional, Trump perlu mengubah gaya diplomasinya dan mengadopsi pendekatan yang lebih konstruktif dan kolaboratif. Ini berarti menghormati norma-norma dan prinsip-prinsip hukum internasional, menghargai kedaulatan negara lain, dan bersedia untuk bekerja sama dengan negara lain dalam mengatasi tantangan global. Namun, perubahan seperti itu mungkin sulit bagi Trump, mengingat keyakinan ideologisnya dan kecenderungannya untuk bertindak secara unilateral. Oleh karena itu, masa depan tatanan dunia yang stabil dan damai tetap tidak pasti di bawah kepemimpinan Trump.
Ahmad Nurcholis, Dosen Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya, Lulusan Master Hubungan Internasional Shandong University, China