Serikat Petani Sawit Desak Pemerintah Cari Alternatif Pasar Ekspor di Tengah Ancaman Tarif AS

Serikat Petani Sawit Desak Pemerintah Cari Alternatif Pasar Ekspor di Tengah Ancaman Tarif AS

Jakarta - Kebijakan tarif impor yang diterapkan Amerika Serikat terhadap produk kelapa sawit Indonesia memicu kekhawatiran serius di kalangan petani sawit. Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mendesak pemerintah untuk segera mencari alternatif pasar ekspor guna mengurangi dampak negatif dari kebijakan tersebut.

Menurut Mansuetus Darto, Dewan Nasional sekaligus pendiri SPKS, tarif impor sebesar 32% yang diberlakukan oleh AS dapat menggerus volume ekspor CPO (Crude Palm Oil) Indonesia ke negara tersebut. "Kebijakan tarif Trump menurut saya akan menggerus ekspor sawit ke US. Ini kan harus ada cara-cara lain (sebagai solusi)," ujar Mansuetus.

Dampak Perang Dagang dan Penurunan Harga TBS

Mansuetus juga menyoroti dampak perang dagang yang lebih luas terhadap harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani. Meskipun saat ini penurunan harga TBS masih relatif kecil, sekitar Rp 20-50 per kilogram, namun potensi penurunan lebih lanjut tetap menjadi kekhawatiran.

SPKS menyatakan masih menunggu langkah konkret dari pemerintah terkait ekspor minyak sawit ke AS. Jika ekspor ke AS tidak lagi menguntungkan karena tarif yang tinggi, pengusaha sawit akan mencari alternatif lain.

EUDR dan Diversifikasi Pasar

Selain masalah tarif AS, Mansuetus juga menyoroti ketidakjelasan sikap pemerintah Indonesia terkait EUDR (Europe Union Deforestation Regulation), sebuah regulasi yang bertujuan mencegah impor produk-produk terkait deforestasi ke Uni Eropa.

SPKS mendesak pemerintah untuk membantu pengusaha sawit mengakses pasar Uni Eropa agar tidak terlalu bergantung pada pasar AS. "Saya lihat posisinya pemerintah masih memprovocate pengusaha-pengusaha sawit untuk melawan semaksimal mungkin agar EUDR bisa dibatalkan," kata Mansuetus. Padahal, dengan potensi penurunan ekspor ke AS, Uni Eropa justru bisa menjadi pasar alternatif yang menjanjikan.

Namun, akses ke pasar Uni Eropa terancam oleh EUDR yang akan berlaku pada Januari 2026. Oleh karena itu, pemerintah perlu memotivasi pengusaha sawit untuk memenuhi standar keberlanjutan yang ditetapkan oleh Uni Eropa.

"Terkait dengan situasi sawit itu akan tergerus drastis apalagi kalau misalnya pasar UE itu tidak di-support oleh pemerintah, agar pengusaha bisa compliance dengan standar-standar UE," papar Mansuetus.

Penurunan Ekspor dan Upaya Pemerintah

Mansuetus juga mencatat adanya penurunan ekspor minyak sawit secara umum. Pada Maret 2025, ekspor turun 20% dibandingkan Maret 2024. Ia berharap pemerintah dapat melakukan upaya negosiasi dan lobi untuk meningkatkan ekspor minyak sawit.

Data Ekspor Sawit Indonesia ke AS

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor CPO dan produk turunannya ke AS mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir:

  • 2015: 736.500 ton
  • 2023: 1,98 juta ton (volume ekspor tertinggi)
  • 2024: 1,39 juta ton

Pada tahun 2024, AS menjadi negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia terbesar ke-4 setelah India, Pakistan, dan China. Dengan adanya kebijakan tarif impor, posisi AS sebagai pasar ekspor berpotensi tergeser.

SPKS menekankan pentingnya respons cepat dan strategis dari pemerintah untuk melindungi kepentingan petani sawit Indonesia di tengah tantangan global yang semakin kompleks.