Akademisi AS Terjerat UU Lèse-Majesté Thailand Usai Seminar Daring

Akademisi AS Terjerat UU Lèse-Majesté Thailand Usai Seminar Daring

Seorang akademisi asal Amerika Serikat, Paul Chambers, yang telah lama menetap dan mengajar di Thailand, kini menghadapi tuntutan serius terkait dugaan penghinaan terhadap monarki. Penahanan Chambers pada Selasa (8/4) lalu, sontak menjadi sorotan internasional, khususnya terkait dengan penerapan ketat undang-undang lèse-majesté di Negeri Gajah Putih tersebut.

Chambers, yang merupakan pengajar ilmu politik di Universitas Naresuan, Phitsanulok, sebelumnya memenuhi panggilan polisi untuk dimintai keterangan atas laporan yang diajukan oleh Angkatan Darat Thailand. Kasus ini bermula dari sebuah seminar daring yang menghadirkan Chambers sebagai salah satu pembicara.

Dakwaan dan Proses Hukum

Menurut keterangan dari petugas kepolisian Phitsanulok, Chambers dijerat dengan dua dakwaan utama:

  • Penghinaan atau pencemaran nama baik monarki.
  • Pelanggaran Undang-Undang Kejahatan Siber terkait aktivitas daring.

Setelah menjalani pemeriksaan, Chambers kemudian dibawa ke Pengadilan Provinsi Phitsanulok untuk menjalani sidang penahanan pra-persidangan. Organisasi Pengacara Thailand untuk Hak Asasi Manusia (TLHR) mendampingi Chambers dalam proses hukum ini.

Wannaphat Jenroumjit, pengacara dari TLHR yang mewakili Chambers, menegaskan bahwa kliennya membantah semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Namun, permohonan jaminan yang diajukan Chambers ditolak oleh pengadilan. Hingga saat ini, belum ada tanggal pasti mengenai jadwal sidang lanjutan kasus ini.

Kontroversi UU Lèse-Majesté di Thailand

Thailand dikenal memiliki salah satu undang-undang lèse-majesté paling ketat di dunia. Pasal 112 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Thailand mengatur bahwa siapa pun yang menghina, mencemarkan nama baik, atau mengancam raja, ratu, atau ahli waris kerajaan dapat dijatuhi hukuman penjara antara tiga hingga 15 tahun.

Dalam beberapa tahun terakhir, undang-undang ini semakin sering digunakan untuk menindak para aktivis dan demonstran yang terlibat dalam gerakan pro-demokrasi dan anti-monarki. Sejak tahun 2020, tercatat sekitar 279 orang telah didakwa dengan tuduhan lèse-majesté, menurut data dari TLHR.

Meskipun beberapa tokoh kunci gerakan protes telah dipenjara, kasus yang melibatkan warga negara asing dalam pelanggaran Pasal 112 relatif jarang terjadi. Human Rights Watch (HRW) telah berulang kali mengkritik pemerintah Thailand atas penggunaan undang-undang lèse-majesté, hasutan, dan kejahatan siber untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai.

Profil Paul Chambers

Paul Chambers dikenal sebagai seorang akademisi yang memiliki keahlian dalam bidang politik Thailand dan pengaruh militer dalam pemerintahan. Penelitiannya seringkali menyoroti peran penting militer dalam lanskap politik Thailand, yang telah mengalami 13 kali kudeta sejak menjadi monarki konstitusional pada tahun 1932. Kudeta terakhir terjadi pada tahun 2014.

Penahanan Chambers memicu kekhawatiran akan kebebasan akademik dan berekspresi di Thailand, serta penerapan undang-undang lèse-majesté yang dianggap kontroversial oleh banyak pihak.