Serial 'Adolescence': Alarm bagi Orang Tua dan Pendidik di Era Digital

'Adolescence': Ketika Pengasuhan Anak Beralih ke Algoritma?

Serial drama berjudul Adolescence, yang terdiri dari empat episode dan kini tayang di platform Netflix, telah memicu perdebatan hangat di kalangan orang tua, pendidik, dan pembuat kebijakan. Lebih dari sekadar hiburan, serial ini berfungsi sebagai cermin yang merefleksikan betapa rentannya anak-anak dan remaja di era digital, serta ketidaksiapan orang dewasa dalam membimbing mereka.

Kesuksesan Adolescence tidak bisa diabaikan. Serial ini menduduki peringkat teratas di Inggris Raya, menarik perhatian lebih dari 6 juta penonton hanya dalam minggu pertama penayangannya. Bahkan, serial ini menjadi topik diskusi di parlemen Inggris, mendorong sang sutradara, Jack Thorne, untuk menyerukan undang-undang yang melarang anak di bawah 16 tahun mengakses media sosial.

Kisah Jamie: Potret Remaja di Tengah Pusaran Media Sosial

Inti cerita Adolescence berpusat pada Jamie Miller, seorang remaja berusia 13 tahun yang dituduh melakukan pembunuhan terhadap teman sekelasnya, Katie. Alih-alih menyajikan kisah kriminalitas yang sensasional, serial ini menggali lebih dalam akar permasalahan yang melatarbelakangi tindakan Jamie. Setiap episode mengungkap lapisan demi lapisan kompleksitas kehidupan remaja di era digital.

Episode pertama menyoroti pola penggunaan media sosial Jamie yang tidak terkendali. Ia terpapar pada berbagai konten yang belum pantas untuk usianya, mulai dari budaya cancel culture hingga komentar-komentar kebencian. Episode kedua menyoroti sistem pendidikan yang terlalu fokus pada pencapaian akademik, menciptakan lingkungan sekolah yang kompetitif dan penuh perundungan. Kebutuhan emosional siswa seringkali terabaikan, membuat mereka rentan mencari pelarian di dunia maya.

Pendidikan Holistik: Lebih dari Sekadar Transfer Pengetahuan

Adolescence mengingatkan kita bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya sebatas transfer pengetahuan, tetapi juga internalisasi nilai-nilai moral dan etika. Pendidikan yang sejati membekali individu dengan kemampuan untuk berinteraksi secara bertanggung jawab di masyarakat. Ketika pendidikan hanya menekankan aspek kognitif, nilai-nilai tersebut menjadi terfragmentasi dan kehilangan relevansinya.

Serial ini menggambarkan bagaimana Jamie terombang-ambing antara dunia privat (keluarga) dan dunia publik (media sosial). Ketidakseimbangan antara kedua dunia ini menyebabkan Jamie mencari validasi dan pemahaman di dunia digital, yang justru memperparah isolasinya.

Episode ketiga mengungkap bagaimana Jamie terpapar pada ide-ide misoginis dan narasi incel (involuntary celibacy) yang terdistorsi. Alih-alih membangun koneksi yang bermakna, teknologi justru memperdalam keterasingan dan rasa kesepian Jamie. Ia lebih mengandalkan interaksi daring daripada hubungan nyata, yang berkontribusi pada kesalahpahaman dan isolasi.

Kuasa Simbolik Media Sosial dan Pembentukan Identitas

Serial ini juga menyinggung konsep kuasa simbolik yang digagas oleh Pierre Bourdieu. Media sosial memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi dan norma-norma di masyarakat, terutama di kalangan remaja. Algoritma dan narasi tertentu mendominasi pemikiran anak-anak, seringkali tanpa mereka sadari. Remaja seperti Jamie secara tidak sadar menginternalisasi standar-standar yang dibentuk oleh komunitas daring yang mereka ikuti.

Adolescence menunjukkan bahwa norma-norma yang dibangun melalui media sosial dapat mendominasi pemikiran Jamie, bahkan lebih kuat daripada pendidikan formal dan pola asuh orang tua yang ia terima.

Episode keempat menyoroti dinamika keluarga Jamie yang tampak ideal di permukaan. Keluarga tersebut penuh kasih sayang dan saling mencintai, terhindar dari disfungsi patologis seperti kekerasan domestik atau kecanduan. Namun, kurangnya komunikasi mendalam dan pemahaman terhadap dunia digital membuat Jamie merasa terasing.

Tanggung Jawab Bersama: Orang Tua, Pendidik, dan Industri Teknologi

Adolescence dengan lantang menyampaikan pesan bahwa apa yang dialami keluarga Jamie bisa menimpa keluarga manapun. Serial ini mematahkan stereotip bahwa pelaku kejahatan remaja selalu berasal dari keluarga disfungsional.

Pernyataan Stephen Graham, co-director Adolescence, bahwa peran internet kini "sama signifikannya dalam mengasuh anak-anak seperti halnya kita" menggarisbawahi fakta bahwa pola pengasuhan kini telah melibatkan dunia digital secara langsung. Ia menekankan bahwa semua pihak bertanggung jawab—sistem pendidikan, pola pengasuhan, komunitas, pemerintah, dan terutama media sosial. Solusi terhadap masalah seperti yang dihadapi Jamie tidak dapat mengandalkan satu pihak saja.

Refleksi dan Aksi: Membangun Jembatan Komunikasi di Era Digital

Salah satu adegan dalam serial ini menggambarkan seorang ibu yang bertanya kepada putranya, "Saat kamu tidak tahu bagaimana caranya ngobrol dengan perempuan atau bingung mengenai baju yang akan kamu pakai, ke mana kamu cari bantuan?" Sang anak menjawab, "Online, TikTok." Pengalaman ini mencerminkan betapa remaja saat ini bergantung pada dunia maya sebagai sumber utama pengetahuan dan pedoman perilaku.

Adolescence membuka mata kita bahwa tantangan di era digital bukan hanya tentang bagaimana mengontrol teknologi, tetapi lebih dari itu, bagaimana menciptakan dialog yang sehat di tengah derasnya arus informasi. Refleksi kritis dan kepedulian terhadap anak atau murid tidak melulu tentang akademik. Komunikasi yang autentik adalah fondasi yang harus dibangun oleh guru dan orang tua.

Serial ini menjadi pengingat bahwa di era digital ini, pengasuhan anak membutuhkan pendekatan yang holistik dan kolaboratif. Orang tua dan pendidik perlu membekali diri dengan pemahaman tentang dunia digital, membangun komunikasi yang terbuka dengan anak-anak, dan menanamkan nilai-nilai moral yang kuat agar mereka dapat tumbuh menjadi individu yang bertanggung jawab dan berempati. Industri teknologi juga memiliki tanggung jawab untuk menciptakan platform yang aman dan mendukung perkembangan positif remaja.