Turbulensi Pasar Asia: Respon Terhadap Eskalasi Perang Dagang AS-China dan Dampaknya pada Ekonomi Global

Pasar Saham Asia Bergulat dengan Bayangan Tarif Impor AS

Pasar saham di kawasan Asia menunjukkan sinyal pemulihan yang rapuh pada hari Selasa (8/4/2025), setelah mengalami guncangan hebat akibat kebijakan tarif impor baru yang diumumkan oleh Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Pengumuman tersebut, yang disertai dengan peringatan potensi tindakan lebih lanjut terhadap China, serta respon keras dari Beijing, telah memicu kekhawatiran mendalam tentang eskalasi perang dagang antara dua kekuatan ekonomi raksasa dunia.

Efek domino dari kebijakan tarif AS ini telah terasa di seluruh pasar global, menciptakan ketidakpastian yang signifikan dalam perdagangan internasional. Investor dan analis kini berspekulasi tentang potensi resesi global, dengan nilai pasar perusahaan-perusahaan besar menguap hingga triliunan dolar AS.

Upaya Pemulihan di Tengah Ketidakpastian

Di tengah sentimen pasar yang bergejolak, investor mencoba untuk memulihkan sebagian kerugian. Indeks saham di Tokyo mencatat lonjakan lebih dari enam persen, sedikit meredakan kepanikan yang terjadi pada hari sebelumnya. Kenaikan ini dipicu oleh harapan pasar terhadap pertemuan antara Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, dan Presiden Trump, yang diharapkan dapat mendinginkan tensi antara kedua negara.

Namun, ancaman Trump untuk mengenakan tarif tambahan sebesar 50 persen terhadap produk-produk China, sebagai balasan atas tarif 34 persen yang telah diterapkan oleh Beijing, terus membayangi pasar. Retorika yang saling bertentangan antara kedua negara menambah ketidakpastian. Trump bersikeras bahwa tarif akan tetap berlaku jika China tidak menuruti tuntutan AS, sementara juru bicara Kementerian Perdagangan China menegaskan bahwa negaranya tidak akan pernah menerima tindakan tersebut dan siap melawan sampai akhir.

Trump, dalam pernyataannya, mengimbau warga Amerika untuk tetap tegar dan sabar, sembari berharap pasar dapat kembali stabil.

Respon Pasar Asia Bervariasi

Reaksi pasar di berbagai negara Asia bervariasi.

  • Hong Kong berhasil mencatatkan kenaikan lebih dari dua persen, meskipun masih berusaha menutup kerugian besar yang terjadi sebelumnya.
  • Bursa saham di Sydney, Seoul, Wellington, dan Manila juga menunjukkan tren positif.
  • Shanghai didukung oleh intervensi Bank Sentral China melalui Central Huijin Investment untuk menjaga stabilitas pasar modal.
  • Namun, Taipei justru mengalami penurunan tajam, memperpanjang tren negatif sebelumnya.
  • Singapura juga menghadapi tekanan jual yang signifikan.

Indonesia sempat menghentikan perdagangan (trading halt) segera setelah pembukaan pasar karena penurunan tajam lebih dari sembilan persen, dipicu oleh kembalinya investor setelah libur panjang. Bursa Vietnam juga terpengaruh dengan penurunan lima persen akibat tarif yang berlaku terhadap negara tersebut.

Peringatan dan Prospek ke Depan

Analis memperingatkan bahwa ketegangan perdagangan ini berpotensi berlanjut dan bahkan memburuk. Vincenzo Vedda dari DWS menekankan bahwa jika tidak ada kebijakan yang membatalkan tarif dalam beberapa minggu mendatang, risiko krisis ekonomi global akan meningkat secara signifikan.

Chris Weston dari Pepperstone menambahkan bahwa kemungkinan China untuk membatalkan kebijakan tarifnya sangat kecil, sehingga besar kemungkinan Trump akan melanjutkan dengan tarif tambahan.

Jamie Dimon, CEO JPMorgan Chase, memperingatkan bahwa meskipun belum dapat dipastikan apakah tarif akan menyebabkan resesi, kebijakan tersebut akan memperlambat pertumbuhan ekonomi global dan berpotensi meningkatkan inflasi.

Kebijakan Federal Reserve juga menjadi sorotan utama. Para ekonom memprediksi bahwa keputusan terkait suku bunga akan menjadi lebih sulit, dengan potensi pemangkasan suku bunga meningkat pada akhir tahun. Saira Malik dari Nuveen menyatakan bahwa perdebatan seputar pemangkasan suku bunga kini bergeser dari kekhawatiran tentang inflasi ke kekhawatiran tentang perlambatan pertumbuhan ekonomi. Pasar memperkirakan peningkatan probabilitas pemangkasan suku bunga oleh The Fed, dengan potensi enam hingga tujuh pemangkasan hingga tahun 2026. Perang dagang ini akan terus membayangi prospek ekonomi global, dan investor akan terus memantau perkembangan kebijakan dan retorika dari kedua belah pihak.