Menelisik Janji Lapangan Kerja Prabowo: Antara Realitas dan Retorika

Mengurai Janji Penciptaan Lapangan Kerja Prabowo: Analisis Mendalam

Artikel ini merupakan kelanjutan dari pembahasan mengenai retorika penciptaan lapangan kerja yang digaungkan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto. Fokus kali ini adalah menelaah lebih jauh janji-janji konkret yang dilontarkan, serta potensi dan tantangan yang menyertainya.

BPI Danantara: Harapan atau Ilusi Lapangan Kerja?

Salah satu program andalan Prabowo adalah pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, yang diharapkan dapat menciptakan 8 juta lapangan kerja. Konsep ini meniru sovereign wealth fund (SWF) seperti Temasek di Singapura dan Khazanah di Malaysia. Namun, pertanyaan mendasar adalah: apakah target ambisius ini realistis?

Untuk menciptakan 8 juta lapangan kerja melalui investasi, diperlukan ratusan proyek berskala besar di berbagai sektor. INA (Indonesia Investment Authority), SWF yang sudah ada, belum menunjukkan dampak signifikan dalam penciptaan lapangan kerja. INA lebih banyak berfokus pada konsolidasi aset daripada investasi baru yang membuka lapangan kerja secara masif. Keberhasilan BPI Danantara sangat bergantung pada:

  • Peta jalan (roadmap) yang jelas: Sektor investasi yang spesifik, mitra yang kredibel, nilai proyek yang terukur, dan keberlanjutan proyek.
  • Tata kelola yang baik: Kredibilitas, transparansi, dan akuntabilitas untuk menghindari praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
  • Pemerataan wilayah: Investasi tidak hanya terpusat di Jawa dan kota-kota besar, tetapi juga menjangkau daerah-daerah tertinggal.

Tanpa fondasi yang kuat, BPI Danantara berpotensi menjadi sekadar janji manis tanpa realisasi.

Koperasi Desa: Mungkinkah Jadi Pilar Ekonomi yang Kokoh?

Prabowo juga menekankan pentingnya penguatan koperasi desa sebagai solusi untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan ekonomi lokal. Koperasi memiliki potensi besar karena berbasis gotong royong dan dekat dengan masyarakat. Namun, banyak koperasi desa saat ini masih jauh dari ideal. Permasalahan utama meliputi:

  • Kurangnya aktivitas dan transparansi: Banyak koperasi hanya menjadi simbol tanpa kegiatan yang berarti.
  • Manajemen yang buruk: Pengurus koperasi seringkali hanya mementingkan keuntungan pribadi.
  • Ekosistem yang belum mendukung: Kurangnya pelatihan, akses modal, pasar, dan digitalisasi.

Untuk mewujudkan potensi koperasi desa, diperlukan:

  • Model kelembagaan yang modern: Koperasi harus dikelola secara profesional dan transparan.
  • Pendampingan yang berkualitas: Koperasi membutuhkan dukungan teknis dan manajerial yang berkelanjutan.
  • Peran negara yang aktif: Negara tidak hanya menjadi fasilitator administratif, tetapi juga pembina, pengawas, dan mitra strategis.

Pembangunan Tiga Juta Rumah: Antara Mimpi dan Kenyataan

Program ambisius lainnya adalah pembangunan tiga juta rumah rakyat per tahun, yang diklaim dapat menyerap 4,8 juta tenaga kerja. Saat ini, Indonesia hanya mampu membangun sekitar 800 ribu hingga 1 juta unit rumah per tahun. Peningkatan kapasitas produksi yang signifikan membutuhkan:

  • Ketersediaan lahan dan bahan bangunan yang memadai.
  • Tenaga kerja terampil yang mencukupi.
  • Infrastruktur pendukung yang memadai.
  • Skema pembiayaan yang jelas dan transparan.

Selain itu, program ini juga harus memperhatikan:

  • Keterlibatan masyarakat lokal: Proyek perumahan harus memberdayakan masyarakat, bukan hanya menguntungkan segelintir pengembang besar.
  • Lokasi yang strategis: Rumah harus dibangun dekat dengan pusat kegiatan ekonomi, sekolah, dan fasilitas umum.
  • Tata kota yang berkelanjutan: Pembangunan perumahan harus memperhatikan lingkungan dan keadilan spasial.

Jika tidak direncanakan dengan matang, program ini berpotensi menghasilkan perumahan kosong atau bahkan "kota hantu" yang tidak layak huni.

Kritik Terhadap Pendekatan Prabowo

Secara keseluruhan, janji-janji Prabowo dalam menciptakan lapangan kerja masih sarat retorika dan minim substansi. Beberapa kritik utama meliputi:

  • Kurangnya analisis struktural: Program-program yang ditawarkan tidak menyentuh akar permasalahan ketenagakerjaan, seperti dominasi sektor informal, eksploitasi pekerja gig, dan mismatch pendidikan dan pasar kerja.
  • Ketergantungan pada solusi top-down: Program-program yang ditawarkan lebih menekankan pada proyek-proyek besar daripada pemberdayaan masyarakat dan pengembangan UMKM.
  • Kurangnya perhatian pada disrupsi teknologi: Tidak ada kebijakan yang jelas untuk menghadapi tantangan otomatisasi dan digitalisasi.

Tanpa koreksi yang signifikan, pendekatan ini berpotensi memperburuk ketimpangan, memperluas sektor informal, dan menjerumuskan Indonesia ke dalam jebakan negara berpenghasilan menengah.

Kesimpulan

Janji-janji lapangan kerja Prabowo memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, potensi ini hanya dapat terwujud jika program-program yang ditawarkan didukung oleh perencanaan yang matang, tata kelola yang baik, dan komitmen yang kuat untuk mengatasi tantangan struktural di sektor ketenagakerjaan. Pemerintah mendatang perlu lebih fokus pada kebijakan yang inklusif, berkelanjutan, dan responsif terhadap perubahan zaman.