Konflik Lahan di Lempuyangan: Warga Pasang Spanduk, Pertanyakan Dasar Hukum Pengosongan oleh PT KAI

Sengketa Lahan di Lempuyangan Memanas: Warga Tolak Pengosongan Aset oleh PT KAI

YOGYAKARTA - Ketegangan antara warga RW 1 Kampung Tegal Lempuyangan, Bausasran, Yogyakarta, dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) mencapai puncaknya dengan pemasangan spanduk penolakan pengosongan lahan oleh warga. Aksi ini merupakan bentuk protes atas permintaan PT KAI untuk mengosongkan area yang mereka huni, yang diklaim sebagai aset perusahaan. Konflik ini memicu pertanyaan tentang dasar hukum pengosongan dan hak-hak warga yang telah lama mendiami kawasan tersebut.

Kronologi Konflik: Surat Sosialisasi Berujung Penolakan

Menurut Anton Handriutomo, Ketua RW 1, permasalahan bermula dari surat sosialisasi yang diterima warga dari PT KAI pada 14 Maret 2025. Kedatangan petugas PT KAI yang didampingi oleh Polisi Khusus Kereta Api (Polsuska) dinilai intimidatif oleh warga, sehingga mereka menolak menghadiri sosialisasi pertama.

Warga kemudian menyampaikan keberatan mereka kepada Lurah Bausasran, meliputi:

  • Pemberitahuan sosialisasi yang mendadak.
  • Kehadiran Polsuska yang dirasakan sebagai bentuk intimidasi.
  • Permintaan agar sosialisasi berikutnya diadakan di tempat netral.

Sosialisasi kedua akhirnya dilaksanakan di kantor Kelurahan Bausasran pada 26 Maret 2025. Dalam sosialisasi tersebut, PT KAI mengklaim telah mengantongi Surat Palilah dari Keraton Yogyakarta, yang memberikan izin penggunaan lahan. Surat Palilah ini lazimnya berlaku selama satu tahun sebelum dikeluarkannya Surat Kekancingan.

Warga Berbekal Surat Keterangan Tanah (SKT)

Di sisi lain, warga mengaku memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) sebagai bukti kepemilikan lahan. Meskipun bukan sertifikat tanah, SKT dianggap sebagai bukti bahwa warga telah lama mendiami dan menguasai lahan tersebut. SKT juga dianggap setara dengan Surat Palilah sebagai syarat untuk mendapatkan Surat Kekancingan dari Keraton Yogyakarta.

Namun, proses pengajuan Surat Kekancingan terhambat karena warga diharuskan melampirkan surat keterangan kerelaan dari PT KAI. Hal ini menjadi ganjalan besar, mengingat PT KAI mengklaim lahan tersebut sebagai aset perusahaan, yang dulunya merupakan bangunan peninggalan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) dan Staatsspoorwegen (SS).

Rencana Pengosongan Akhir Mei Ditolak Warga

PT KAI berencana meminta kembali 13 bangunan kuno bekas peninggalan Belanda yang saat ini dihuni warga. Dari sosialisasi, warga mengetahui PT KAI meminta pengosongan lahan pada akhir Mei. Tahapan yang direncanakan PT KAI setelah sosialisasi adalah pengukuran lahan, negosiasi, pemberian Surat Peringatan (SP) 1-3, dan pengosongan pada akhir Mei. Warga menolak rencana ini, sehingga mereka memasang spanduk penolakan di sekitar kawasan tersebut.

Tanggapan PT KAI

Manajer Humas PT KAI, Feni Novida Saragih, saat dikonfirmasi memilih untuk tidak memberikan komentar secara detail dan berjanji akan memberikan tanggapan tertulis terkait permasalahan ini.

Konflik ini menyoroti pentingnya kejelasan status kepemilikan lahan dan perlindungan hak-hak warga yang telah lama mendiami suatu kawasan. Perlu adanya dialog yang konstruktif antara PT KAI dan warga untuk mencari solusi terbaik yang adil dan tidak merugikan kedua belah pihak.