Inisiatif DDL untuk Royalti Musik Tuai Sorotan: FESMI Soroti Landasan Hukum
Digital Direct Licensing (DDL): Inovasi atau Pelanggaran Sistem Royalti yang Ada?
Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) meluncurkan Digital Direct Licensing (DDL), sebuah platform yang diklaim sebagai solusi modern untuk sistem royalti musik di Indonesia, khususnya dalam pertunjukan komersial dan konser. AKSI menyatakan bahwa DDL bertujuan untuk menciptakan sistem royalti digital yang valid, transparan, dan reliabel. Namun, inisiatif ini menuai tanggapan kritis dari Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI), yang mempertanyakan dasar hukum dari platform tersebut.
Klaim AKSI dan Dukungan yang Diperoleh
AKSI mengklaim telah memperkenalkan DDL kepada berbagai lembaga penting sejak 2023, termasuk Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta Kementerian Ekonomi Kreatif. Mereka juga telah melakukan simulasi real-time dalam Forum Group Discussion (FGD) bersama Menteri Ekonomi Kreatif, Event Organizer (EO), dan manajemen artis. Simulasi ini menunjukkan bagaimana hak ekonomi pencipta lagu dapat diterima langsung sebelum konser diselenggarakan.
AKSI juga menekankan bahwa DDL akan mematuhi aturan pajak royalti PPh23 dan menerapkan Non-Disclosure Agreement (NDA) untuk menjaga kerahasiaan data dan dokumen. Mereka mengklaim bahwa pajak yang dikenakan adalah 10 persen dari nilai kontrak artis atau penyanyi, dan DDL dirancang agar mudah digunakan tanpa kerumitan.
Kritik FESMI terhadap DDL
Panji Prasetyo, Pengacara Hak Cipta dan Direktur Hukum FESMI, menanggapi peluncuran DDL dengan skeptis. Ia tidak mempermasalahkan pembuatan aplikasi tersebut, tetapi mempertanyakan dasar hukumnya.
"Silakan saja mau bikin aplikasi apapun, bebas saja. Cuma kan gak wajib orang untuk pakai, kenapa? Dasar hukumnya apa?" ujarnya.
Panji menjelaskan bahwa Undang-Undang Hak Cipta mengatur pembayaran royalti performing rights melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), tanpa celah untuk direct license. Ia merujuk pada Pasal 81 yang mengatur lisensi eksklusif dan non-eksklusif, Pasal 80 tentang lisensi secara umum, dan Pasal 23 ayat 5 yang secara spesifik mengatur performing rights melalui LMK.
Perhitungan Royalti yang Dipertanyakan
Panji juga mengkritik cara perhitungan royalti yang diusulkan DDL, yaitu berdasarkan honor penyanyi. Ia menilai hal ini sebagai kesalahan fatal karena mencampuradukkan royalti dan honor. Honor adalah imbalan untuk penyanyi sebagai bagian dari pertunjukan, sedangkan royalti seharusnya menjadi tanggung jawab penyelenggara acara.
"Ini kan parah nih, fatal. Tahu gak bedanya royalti sama honor? Honor itu kan memang imbalan buat si penyanyi dan penyanyi itu kan bagian dari pertunjukan ya. Yang jelas penyelenggara dong harus tanggung jawab," tegasnya.
Panji juga mengingatkan agar kasus Agnez Mo yang belum memiliki kekuatan hukum tetap tidak dijadikan dasar hukum dalam menentukan sistem royalti.
Batasan untuk DDL
Panji menegaskan bahwa pembayaran performing rights tidak dapat dilakukan melalui direct license atau aplikasi DDL secara hukum. Ia tidak melarang AKSI membuat aplikasi tersebut sebagai cara pengkolektifan royalti, tetapi menekankan bahwa hal itu hanya berlaku di ranah internal mereka.
"Jadi ini kan kemauan private-nya mereka. Yaudah pakai aja kelompok mereka, jangan memaksakan hukum private Anda buat dijadikan hukum publik," pungkas Panji.
Kesimpulan
Inisiatif DDL oleh AKSI bertujuan untuk memodernisasi sistem royalti musik di Indonesia. Namun, FESMI mengkritik landasan hukum dan mekanisme perhitungan royalti yang diusulkan. Perdebatan ini menyoroti kompleksitas sistem royalti musik dan perlunya kejelasan hukum untuk melindungi hak-hak pencipta lagu dan memastikan kompensasi yang adil.