Investigasi Kematian PMI di Nunukan: RSUD Berikan Klarifikasi Terkait Pemberian Obat
RSUD Nunukan Buka Suara Terkait Meninggalnya PMI Usai Konsumsi Obat Resep
Kasus meninggalnya seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) di sebuah hotel di Nunukan, Kalimantan Utara, setelah mengonsumsi obat yang diresepkan oleh Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nunukan, telah memicu berbagai spekulasi. Pihak RSUD Nunukan, melalui Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Sabaruddin, memberikan klarifikasi resmi untuk meluruskan informasi yang beredar dan memberikan gambaran yang lebih akurat mengenai kronologi kejadian.
Sabaruddin menjelaskan bahwa pasien PMI tersebut tiba di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Nunukan pada Jumat, 4 April 2025, sekitar pukul 14.52 WITA. Pasien datang didampingi oleh teman dan anggota keluarga. Saat pemeriksaan awal, kondisi pasien menunjukkan tanda-tanda kelemahan fisik, dengan tekanan darah 100/70 mmHg, denyut nadi 82 kali per menit, laju pernapasan 20 kali per menit, suhu tubuh 36,2 derajat Celsius, dan saturasi oksigen 98%. Berdasarkan kondisi tersebut, pasien dikategorikan sebagai triase kuning, yang berarti membutuhkan penanganan medis yang tidak mendesak namun tetap memerlukan pemantauan.
Dokter yang bertugas kemudian melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan mendapati bahwa pasien mengeluhkan lemas dan kesulitan berjalan. Dari anamnesis (wawancara medis), terungkap bahwa pasien telah mengalami kondisi tubuh menguning (jaundice) selama lebih dari seminggu, disertai dengan rasa mual dan penurunan nafsu makan yang signifikan. Pemeriksaan fisik juga mengkonfirmasi adanya ikterus pada sklera (bagian putih mata) dan seluruh tubuh pasien, yang mengindikasikan adanya gangguan pada fungsi hati akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah.
"Dokter yang bertugas mendiagnosis sementara pasien mengalami ikterus atau penyakit kuning karena gangguan pada fungsi livernya. Dokter juga sudah menyampaikan bahwa kondisinya kurang baik dan butuh pemeriksaan lanjutan, konsultasi dengan dokter spesialis penyakit dalam, serta menyarankan untuk rawat inap," ujar Sabaruddin kepada awak media.
Namun, pihak keluarga pasien menolak rekomendasi rawat inap tersebut. Menurut Sabaruddin, keluarga bersikeras untuk meminta obat rawat jalan karena pasien harus segera kembali untuk mengejar jadwal keberangkatan kapal pada malam harinya setelah sebelumnya telah membeli tiket. Dokter yang menangani sudah menjelaskan perihal kondisi pasien yang tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan menggunakan kapal, karena adanya risiko perburukan kondisi kesehatan bahkan hingga berujung kematian.
"Alasan penolakan tersebut juga dikarenakan masalah biaya, karena pasien tidak memiliki jaminan kesehatan BPJS," tambah Sabaruddin. Keluarga akhirnya menandatangani surat penolakan rawat inap dan meminta obat untuk meredakan keluhan yang dialami pasien. Dokter kemudian meresepkan beberapa jenis obat, termasuk Hepatin, Asam Ursodeoksikolat, dan Ranitidin, dengan harapan dapat membantu meringankan gejala sementara.
RSUD Nunukan telah memberikan obat dan berpesan jika ada keadaan darurat, pasien harus segera kembali ke rumah sakit. Sabaruddin menegaskan bahwa seluruh prosedur pemeriksaan dan penanganan pasien telah dilakukan sesuai dengan standar operasional yang berlaku. Ia membantah spekulasi yang menyebutkan bahwa kematian pasien di hotel disebabkan oleh obat-obatan yang diberikan oleh RSUD.
Sabaruddin juga menjelaskan bahwa pihak kepolisian telah melakukan investigasi terkait kejadian ini dan tidak menemukan adanya indikasi tindak pidana. Kesimpulan sementara menunjukkan bahwa kematian pasien lebih disebabkan oleh kondisi kesehatan pasien yang memang sudah memburuk sebelumnya. Kasus ini menjadi pengingat penting akan perlunya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pemeriksaan medis yang komprehensif dan kepatuhan terhadap rekomendasi dokter, terutama dalam kondisi kesehatan yang mengkhawatirkan.