Perjuangan Mahasiswa Rantau Demi Tradisi Mudik Lebaran: Menabung dan Mengelola Keuangan

Tradisi mudik Lebaran di Indonesia selalu menjadi momen istimewa bagi banyak orang, terutama mahasiswa rantau. Kesempatan untuk berkumpul kembali dengan keluarga besar di kampung halaman menjadi motivasi utama. Namun, perjalanan mudik dan kembali ke perantauan memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit, baik dari segi tenaga, waktu, maupun biaya.

Kisah Nurul, Asisten Lab yang Rajin Menabung

Nurul, seorang mahasiswi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, menjadi salah satu contoh nyata perjuangan mahasiswa rantau untuk mudik. Setiap tahun, Nurul yang berasal dari Lombok ini harus menyisihkan uang selama beberapa bulan sebelum Lebaran. Sumber utama tabungannya berasal dari hasil kerjanya sebagai asisten laboratorium di kampusnya.

"Aku biasanya pakai uang insentif dari lab sih, ya meskipun tidak seberapa, tapi aku terus kumpulin buat beli tiket PP (pulang-pergi)," ujarnya. Meski mendapat kiriman uang bulanan dari orang tuanya, Nurul memilih untuk menggunakan uang hasil jerih payahnya sendiri untuk biaya mudik. Ia merasa tidak enak jika harus terus meminta uang tambahan dari orang tua.

Nurul memilih menggunakan kombinasi transportasi kereta dan laut untuk mencapai Lombok. Rute yang ia tempuh adalah Yogyakarta-Surabaya dengan kereta, kemudian dilanjutkan Surabaya-Lombok dengan kapal laut. Total biaya tiket pulang-pergi yang ia keluarkan sekitar Rp 700.000. Ia menghindari pesawat karena harganya jauh lebih mahal. Selisih harga tiket pesawat bisa mencapai jutaan rupiah untuk rute yang sama.

Perjalanan Nurul memang memakan waktu lebih lama. Ia harus menempuh sekitar 4 jam dari Yogyakarta ke Surabaya, dan sekitar 20 jam dari Surabaya ke Lombok. "Biasanya yang paling bikin capek itu sewaktu menunggu jam keberangkatan, tapi kalau sudah di kendaraan biasanya lebih nyaman karena bisa istirahat," ungkapnya.

Untuk menyiasati agar perjalanannya tidak terlalu berat, Nurul selalu berusaha membawa barang sesedikit mungkin. Ia hanya membawa satu tas ransel tanpa koper. "Kalau oleh-oleh juga sudah tidak pernah bawa, mungkin pas awal-awal kuliah saja. Begitupun sewaktu balik dari Lombok ke Yogyakarta biasanya orangtua nyuruh aku buat bawa makanan banyak, tapi aku enggak mau, biar tidak berat-berat bawaannya," jelasnya.

Fauzan, Mahasiswa Bekasi yang Menyisihkan Uang Jajan

Kisah serupa juga dialami oleh Fauzan, seorang mahasiswa asal Bekasi yang kuliah di Surabaya. Fauzan selalu menyisihkan sekitar Rp 300.000 hingga Rp 400.000 setiap bulan untuk biaya mudik ke kampung halamannya.

"Biasanya berbulan-bulan sebelum Lebaran selalu menyisihkan uang jajan untuk beli tiket kereta dari Surabaya-Bekasi dan sebaliknya, sebulan kadang nabung Rp 50.000, Rp 75.000, atau kalau lagi irit banget bisa sampai Rp 100.000," kata Fauzan. Ia juga merasa tidak enak jika harus meminta uang mudik kepada orang tuanya, karena setiap bulan sudah mendapat kiriman uang.

Fauzan bahkan pernah tidak bisa mudik karena uangnya habis untuk keperluan kuliah. Saat itu, ia sedang berada di semester 3 dan 4 yang banyak tugas proyek dengan membutuhkan dana tambahan. Ia terpaksa berbohong kepada orang tuanya dengan mengatakan tidak bisa pulang karena banyak tugas proyek.

Namun, tahun ini Fauzan bersyukur bisa kembali merayakan Lebaran di Bekasi dan berkumpul dengan keluarganya. Selain itu, ia juga bisa menikmati masakan ibunya yang sangat dirindukannya. "Kalau ngekos makanan harus nyari sendiri, tapi kalau di rumah tidak perlu mikir karena selalu dimasakin mama," ujarnya sambil tersenyum.

Momen Lebaran menjadi saat yang paling ditunggu-tunggu oleh Fauzan. Ia bisa berkumpul dan berbagi cerita dengan keluarganya. "Ketika Lebaran itu kan hari kebahagiaan ya, jadi ketika Lebaran itu yang ditunggu-tunggu momen berkumpul sama keluarga. Bisa saling sharing, saling ngobrol," ujarnya.

Meski berat meninggalkan keluarga, Fauzan harus kembali ke Surabaya untuk melanjutkan kuliah dan menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai mahasiswa. "Sebenarnya sempat ditahan orangtua buat tinggal seminggu lagi karena aku kan mahasiswa semester akhir, jadi jadwal masuknya lebih fleksibel, tapi enggak bisa karena juga banyak yang harus diselesaikan," katanya.

Kisah Nurul dan Fauzan adalah representasi dari banyak mahasiswa rantau di Indonesia yang berjuang untuk bisa merayakan Lebaran bersama keluarga. Perencanaan keuangan yang matang dan pengorbanan menjadi kunci agar tradisi mudik tetap bisa terlaksana.