Pergeseran Budaya Pelayanan di Jepang: Meminta Senyum dari Pelayan Kini Dianggap Pelecehan

Pergeseran Budaya Pelayanan di Jepang: Meminta Senyum dari Pelayan Kini Dianggap Pelecehan

Budaya pelayanan di Jepang, yang selama ini dikenal dengan keramahan omotenashi, kini tengah mengalami pergeseran signifikan. Sebuah survei terbaru mengungkapkan bahwa meminta pelayan toko atau restoran untuk tersenyum dapat dianggap sebagai bentuk pelecehan. Hal ini menandakan adanya perubahan dalam ekspektasi masyarakat terhadap interaksi antara pelanggan dan pekerja layanan.

Survei yang dilakukan oleh Helpfeel, sebuah platform dukungan pelanggan yang berbasis di Kyoto, menemukan bahwa hampir separuh responden (45,7%) menganggap permintaan senyum sebagai tindakan yang tidak pantas. Temuan ini mencerminkan meningkatnya kesadaran akan tekanan yang dirasakan oleh para pekerja layanan, terutama di industri yang menuntut interaksi tatap muka yang konstan.

Omotenashi dan Beban Senyuman

Omotenashi, konsep keramahan tradisional Jepang, menekankan pentingnya mengantisipasi dan memenuhi kebutuhan pelanggan dengan perhatian dan rasa hormat yang tinggi. Dalam praktiknya, hal ini seringkali diterjemahkan dalam bentuk senyuman ramah dan sapaan hangat seperti "Irasshaimase!" saat pelanggan memasuki toko atau restoran.

Namun, di balik keramahan ini, tersembunyi beban yang dirasakan oleh para pekerja layanan. Banyak dari mereka, terutama generasi muda yang mendominasi tenaga kerja di sektor restoran cepat saji, merasa tertekan untuk selalu tersenyum. Kewajiban ini bahkan menjadi alasan bagi sebagian orang untuk enggan bekerja di industri tersebut.

Kampanye "No Smiles" dan Kontroversi AI

Merespon permasalahan ini, beberapa perusahaan mulai mengambil langkah-langkah untuk meringankan beban para pekerja. Salah satu jaringan restoran cepat saji meluncurkan kampanye "No Smiles" pada tahun 2023, yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih nyaman dan menarik lebih banyak tenaga kerja. Kampanye ini menampilkan penyanyi populer Jepang, Ano, yang merilis lagu berjudul "Smile Agenai" (Aku Tidak Akan Memberimu Senyuman).

Namun, tidak semua perusahaan menyambut baik pergeseran ini. Jaringan supermarket Aeon, misalnya, menerapkan sistem kecerdasan buatan (AI) untuk menilai dan menstandarkan senyuman karyawan di 240 tokonya. Sistem ini menganalisis berbagai elemen seperti ekspresi wajah, volume suara, dan nada salam untuk menilai sikap pelayanan pegawai. Meskipun Aeon mengklaim bahwa sistem ini meningkatkan sikap pelayanan, namun langkah ini menuai kritik karena dianggap sebagai bentuk pelecehan di tempat kerja dan eksploitasi tenaga kerja.

Refleksi atas Budaya Pelayanan

Pergeseran budaya pelayanan di Jepang ini memicu refleksi yang lebih dalam tentang apa arti keramahan yang sesungguhnya. Apakah keramahan harus selalu diwujudkan dalam bentuk senyuman yang dipaksakan? Atau adakah cara lain untuk menunjukkan perhatian dan rasa hormat kepada pelanggan tanpa membebani para pekerja?

Fenomena ini juga menyoroti pentingnya memahami konteks budaya dalam interaksi sosial. Bagi para wisatawan yang berkunjung ke Jepang, penting untuk menyadari bahwa ekspektasi terhadap senyuman dalam pelayanan mungkin tidak lagi relevan. Lebih dari sekadar senyuman, yang terpenting adalah menunjukkan rasa hormat dan apresiasi terhadap kerja keras para pekerja layanan.