Trumponomics: Analisis Kebijakan Tarif Tinggi dan Dampaknya terhadap Ekonomi Global
Trumponomics: Analisis Kebijakan Tarif Tinggi dan Dampaknya terhadap Ekonomi Global
Kebijakan tarif tinggi yang digagas oleh mantan Presiden AS Donald Trump, atau yang dikenal dengan istilah "Trumponomics", telah menjadi sorotan dunia. Klaim bahwa tarif adalah solusi untuk memulihkan kejayaan ekonomi Amerika Serikat (AS) memicu perdebatan sengit di kalangan ekonom dan pengambil kebijakan.
Filosofi Tarif Trump: Antara Teori dan Realitas
Trump meyakini bahwa tarif tinggi akan memproteksi industri dalam negeri, mengurangi defisit perdagangan, meningkatkan pendapatan pemerintah, dan menarik investasi asing. Logika sederhananya adalah dengan membuat barang impor lebih mahal, konsumen AS akan beralih ke produk lokal. Peningkatan permintaan produk lokal diharapkan akan mendorong pertumbuhan sektor manufaktur dan menciptakan lapangan kerja.
Namun, formula perhitungan tarif yang digunakan Trump menuai kritik karena dianggap tidak memiliki dasar teori ekonomi yang kuat. Perhitungan tarif didasarkan pada surplus/defisit perdagangan suatu negara dengan AS, total impor AS dari seluruh dunia, serta elastisitas permintaan dan harga. Hasilnya, tarif yang dikenakan bervariasi, dengan negara-negara yang memiliki surplus perdagangan besar dengan AS dikenakan tarif yang lebih tinggi.
Contohnya, tarif impor terhadap China dihitung dengan membagi defisit perdagangan AS-China dengan total impor AS dari seluruh dunia, kemudian dikalikan dengan faktor elastisitas. Formula serupa diterapkan pada negara lain seperti Indonesia, Afrika Selatan, India, Malaysia, Vietnam, Kamboja, dan Thailand. Semakin besar surplus perdagangan suatu negara terhadap AS, semakin besar pula tarif yang dikenakan.
Dampak Global dan Reaksi Pasar
Implementasi kebijakan tarif Trump menciptakan ketidakpastian di pasar global. Harga saham di berbagai negara, terutama di negara berkembang (Emerging Market Economies/EMEs), mengalami penurunan karena investor menarik modal dan mencari aset yang lebih aman (safe-haven).
Nilai tukar mata uang EMEs juga mengalami depresiasi akibat arus modal keluar. Rupiah, misalnya, sempat terdepresiasi hingga mencapai Rp 17.261 per dolar AS. Kekhawatiran muncul bahwa kebijakan tarif tinggi dapat menjerumuskan ekonomi AS ke dalam stagflasi, yaitu kombinasi antara pertumbuhan ekonomi yang lambat, inflasi, dan pengangguran.
Implikasi bagi Indonesia
Indonesia tidak luput dari dampak kebijakan tarif Trump. Ekspor barang dan jasa menyumbang sekitar 22,18% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2024. AS merupakan tujuan ekspor terbesar kedua bagi Indonesia, dengan nilai mencapai US$ 26,3 miliar.
Komoditas ekspor utama Indonesia yang berpotensi terdampak adalah mesin/peralatan elektrik, pakaian dan aksesoris rajutan, alas kaki, serta pakaian dan aksesoris non-rajutan. Meskipun ekspor Indonesia ke AS hanya menyumbang sekitar satu persen dari total impor AS, dampak negatif tetap perlu diantisipasi.
Strategi Antisipasi dan Mitigasi
Untuk mengantisipasi dampak negatif kebijakan tarif Trump, beberapa langkah strategis dapat diambil:
- Fokus pada Pasar Domestik (Inward-Looking): Meningkatkan konsumsi domestik dan efisiensi industri manufaktur sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi.
- Reformasi Tata Niaga Ekspor Impor: Menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif, serta konsisten menghapus kuota impor untuk barang-barang yang produksi dalam negerinya sangat kecil, terutama kebutuhan pokok.
- Negosiasi Langsung (Outward-Looking): Melakukan negosiasi langsung dengan pemerintah AS untuk merelaksasi tarif terhadap produk ekspor Indonesia, dengan menekankan bahwa produk ekspor Indonesia bersifat komplementer, bukan substitusi, terhadap produk AS.
- Diversifikasi Pasar Ekspor: Mencari pasar ekspor baru, seperti ke Uni Eropa (EU) dan Timur Tengah, mengingat potensi ekspor Indonesia ke kawasan ini masih sangat besar, terutama untuk produk elektronik, tekstil, dan produk tekstil.
Peluang di Tengah Tantangan
Meskipun kebijakan tarif Trump menimbulkan tantangan, terdapat pula peluang yang dapat dimanfaatkan. Pemerintah Trump, dalam menghadapi potensi retaliasi dari China, membuka pintu negosiasi dengan Jepang dan Korea Selatan. Indonesia dapat memanfaatkan momentum ini untuk menjalin kerjasama yang lebih erat dengan negara-negara tersebut.
Namun, kewaspadaan tetap diperlukan. Tujuan utama kebijakan tarif Trump adalah untuk mencapai keseimbangan perdagangan, membiayai defisit, dan membayar utang pemerintah AS. Oleh karena itu, Indonesia perlu terus memantau perkembangan situasi dan mengambil langkah-langkah proaktif untuk melindungi kepentingan ekonominya.
Penulis: Muhammad Syarkawi Rauf (Dosen FEB Universitas Hasanuddin, Ketua KPPU RI 2015-2018)