Laporan PBB Ungkap Kerentanan Ekonomi Asia-Pasifik Terhadap Dampak Perubahan Iklim: 11 Negara dalam Sorotan
Ancaman Perubahan Iklim Mengintai Ekonomi Asia-Pasifik: Laporan PBB Mengungkap Kerentanan Serius
Perubahan iklim bukan hanya isu lingkungan, melainkan juga ancaman nyata bagi stabilitas ekonomi di kawasan Asia-Pasifik. Sebuah laporan terbaru dari badan PBB, Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP), menyoroti kerentanan ekonomi sejumlah negara di kawasan ini terhadap dampak perubahan iklim yang semakin intensif.
Laporan tersebut mengidentifikasi serangkaian tantangan yang menguji ketahanan ekonomi kawasan, termasuk:
- Melambatnya pertumbuhan produktivitas: Perubahan iklim dapat mengganggu sektor-sektor produktif seperti pertanian dan perikanan, yang banyak diandalkan oleh negara-negara berkembang di Asia-Pasifik. Bencana alam yang lebih sering terjadi dan perubahan pola cuaca dapat menurunkan hasil panen, merusak infrastruktur, dan mengurangi aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
- Meningkatnya risiko utang publik: Negara-negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim mungkin perlu mengeluarkan lebih banyak uang untuk mitigasi bencana, adaptasi, dan pemulihan ekonomi. Hal ini dapat meningkatkan beban utang publik dan membatasi kemampuan pemerintah untuk berinvestasi dalam pembangunan berkelanjutan.
- Ketegangan perdagangan: Perubahan iklim dapat memicu ketegangan perdagangan antar negara, terutama jika sumber daya alam menjadi semakin langka. Persaingan untuk mendapatkan air, lahan subur, dan sumber daya energi dapat meningkatkan konflik dan menghambat kerja sama ekonomi.
Dari 30 negara yang dianalisis dalam laporan tersebut, 11 negara diidentifikasi sebagai yang paling rentan terhadap risiko iklim dari perspektif ekonomi makro. Negara-negara tersebut adalah:
- Afghanistan
- Kamboja
- Iran
- Kazakhstan
- Laos
- Mongolia
- Myanmar
- Nepal
- Tajikistan
- Uzbekistan
- Vietnam
Sekretaris Eksekutif ESCAP, Armida Salsiah Alisjahbana, menekankan pentingnya kerja sama regional untuk mengatasi tantangan ini. "Menavigasi lanskap yang terus berkembang ini tidak hanya membutuhkan kebijakan nasional yang baik tetapi juga upaya regional yang terkoordinasi untuk menjaga prospek ekonomi jangka panjang dan mengatasi perubahan iklim," katanya.
Kesenjangan Kapasitas dan Perlambatan Pertumbuhan
Laporan ESCAP juga menyoroti adanya kesenjangan signifikan dalam kemampuan negara-negara di Asia-Pasifik untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Beberapa negara telah berhasil memobilisasi pendanaan iklim yang besar dan menerapkan kebijakan hijau, sementara yang lain menghadapi kendala seperti:
- Kendala fiskal
- Sistem keuangan yang lebih lemah
- Kapasitas pengelolaan keuangan publik yang terbatas
Selain itu, laporan tersebut mencatat bahwa pertumbuhan produktivitas tenaga kerja di Asia-Pasifik telah melambat sejak krisis keuangan global 2008. Antara tahun 2010 dan 2024, hanya 19 dari 44 negara berkembang di kawasan tersebut yang mengalami konvergensi pendapatan, yang menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi tetap menjadi masalah.
Rata-rata pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang di Asia-Pasifik juga melambat menjadi 4,8 persen pada tahun 2024, dibandingkan dengan 5,2 persen pada tahun 2023 dan 5,5 persen selama lima tahun sebelum pandemi Covid-19.
Untuk memastikan kemakmuran ekonomi jangka panjang, laporan ESCAP merekomendasikan:
- Dukungan pemerintah yang proaktif untuk meningkatkan sektor ekonomi yang lebih produktif dan bernilai tambah tinggi.
- Pemanfaatan daya saing kawasan dalam industri hijau dan rantai nilai sebagai mesin pertumbuhan ekonomi baru.
- Merangkul kerja sama ekonomi regional yang inklusif.
Dengan tindakan yang tepat, negara-negara di Asia-Pasifik dapat mengatasi tantangan perubahan iklim dan membangun ekonomi yang lebih tangguh dan berkelanjutan.