Residen Anestesi RSHS Diduga Terlibat Kasus Kekerasan Seksual, IDI Desak Investigasi Mendalam dan Pengawasan Ketat

IDI Bereaksi Keras Terkait Dugaan Tindak Kekerasan Seksual yang Melibatkan Dokter Residen di RSHS

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan keprihatinan mendalam atas dugaan keterlibatan seorang dokter residen anestesi dari Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung dalam kasus kekerasan seksual. Kasus ini, yang melibatkan Priguna Anugerah Pratama (PAP), seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dan anggota IDI Kota Bandung, memicu reaksi keras dari organisasi profesi tersebut.

Ketua Umum IDI, dr. Slamet Budiarto, menegaskan bahwa pihaknya akan menunggu hasil penyelidikan resmi dari kepolisian sebelum mengambil tindakan lebih lanjut. Meskipun demikian, IDI tidak menutup kemungkinan pemberian sanksi etik jika terbukti bersalah.

"Kami menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan akan mempelajari secara seksama hasil penyelidikan kepolisian. Jika terbukti bersalah, tentu akan ada konsekuensi etik yang harus ditanggung," ujar dr. Slamet.

IDI juga menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan di rumah sakit vertikal, yang berada di bawah tanggung jawab Kementerian Kesehatan RI. Hal ini menyusul sejumlah laporan kasus serupa yang melibatkan institusi pendidikan kedokteran.

Permasalahan Pengawasan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) di Rumah Sakit

Kasus dugaan kekerasan seksual di RSHS ini bukan insiden pertama yang mencoreng dunia pendidikan kedokteran. Sebelumnya, RSUP Kariadi Semarang juga dilaporkan terkait kasus bullying di kalangan peserta PPDS. Rangkaian kejadian ini menyoroti lemahnya pengawasan dan perlunya perbaikan sistem yang komprehensif.

IDI memberikan beberapa catatan penting untuk menjadi bahan evaluasi:

  • Peningkatan Pengawasan: Kementerian Kesehatan RI perlu meningkatkan pengawasan praktik di rumah sakit vertikal untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dan tindakan yang merugikan pasien atau peserta didik.
  • Identifikasi Akar Masalah: Perlu dilakukan investigasi mendalam untuk mengidentifikasi akar masalah yang menyebabkan terjadinya kasus-kasus kekerasan dan bullying di lingkungan pendidikan kedokteran.
  • Penyusunan SOP yang Jelas: IDI mendesak agar Kementerian Kesehatan RI menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas dan tegas terkait praktik medis, termasuk pemeriksaan pasien, pemberian anestesi, dan prosedur laboratorium. SOP ini harus memastikan bahwa dokter tidak bekerja sendiri dan selalu didampingi oleh tenaga kesehatan lain, seperti perawat, untuk mencegah terjadinya tindakan yang tidak diinginkan.

"SOP yang jelas dan implementasi yang ketat adalah kunci untuk mencegah terjadinya kasus-kasus serupa di masa depan," tegas dr. Slamet.

Komitmen IDI Terhadap Penegakan Etika dan Hukum

IDI menegaskan komitmennya untuk tidak mentolerir segala bentuk kekerasan seksual dan mendukung penegakan hukum terhadap pelaku. Organisasi ini akan terus berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan Kementerian Kesehatan RI untuk memastikan kasus ini ditangani secara transparan dan profesional.

"Kami percaya bahwa penegakan hukum yang tegas akan memberikan efek jera dan mencegah terjadinya kasus-kasus serupa di masa depan. IDI akan terus berupaya untuk menciptakan lingkungan pendidikan kedokteran yang aman, nyaman, dan beretika," pungkas dr. Slamet.

Pelaku saat ini telah ditahan dan menghadapi ancaman hukuman penjara hingga 12 tahun. IDI berharap proses hukum dapat berjalan dengan lancar dan memberikan keadilan bagi korban. Kasus ini menjadi pengingat bagi seluruh tenaga medis untuk selalu menjunjung tinggi etika profesi dan menghormati hak-hak pasien.