Perbandingan Kontras: Strategi Kampanye Pemilu di Australia dan Indonesia
Perbedaan Mencolok Suasana Kampanye Pemilu di Australia dan Indonesia
Menjelang pemilihan umum di Australia, sebuah perbandingan menarik muncul antara strategi kampanye yang diterapkan di sana dengan yang umum terlihat di Indonesia. Perbedaan paling mencolok terletak pada minimnya penggunaan spanduk dan baliho berukuran besar yang menampilkan wajah para politisi di ruang publik Australia. Keadaan ini sangat kontras dengan pemandangan yang sering dijumpai di Indonesia, di mana atribut kampanye seperti spanduk, poster, dan stiker menghiasi hampir setiap sudut jalan.
Sita Dewi, seorang warga Indonesia yang sedang menempuh pendidikan doktoral di Australian National University, mengungkapkan bahwa suasana kampanye di Australia terasa "sepi" jika dibandingkan dengan kemeriahan kampanye di Indonesia. Di Indonesia, menurutnya, baliho dan poster dapat ditemukan di mana-mana, bahkan terkadang terjadi persaingan antar kandidat dari partai yang sama untuk menempatkan atribut kampanye mereka di lokasi yang strategis.
Arrizal Jaknanihan, warga Indonesia lainnya yang tinggal di Canberra, juga mengamati perbedaan serupa. Rizal mengapresiasi penataan atribut kampanye yang lebih teratur di Australia, yang menurutnya mencerminkan regulasi yang lebih ketat dan berkontribusi pada kebersihan dan kerapian kota. Ia berpendapat bahwa pendekatan ini tidak hanya menciptakan lingkungan yang lebih estetis, tetapi juga mendorong kesadaran untuk tidak mengotori kota demi kepentingan politik sesaat.
Fokus pada Kebijakan versus Identitas
Sistem politik Australia yang didominasi oleh dua partai besar, yaitu Partai Buruh dan Koalisi Liberal-Nasional (LNP), mendorong para kandidat untuk lebih fokus pada perdebatan kebijakan dan program yang akan mereka jalankan jika terpilih. Pendekatan ini berbeda dengan Indonesia, di mana identitas partai, terutama yang berkaitan dengan agama, seringkali menjadi faktor penentu dalam preferensi pemilih.
Rizal, seorang mahasiswa Hubungan Internasional di Australian National University, mencatat bahwa kampanye di Australia cenderung lebih logis dan minim gimmick dibandingkan dengan di Indonesia. Meskipun hal ini mungkin terasa membosankan bagi sebagian orang Indonesia, Rizal berpendapat bahwa pendekatan ini justru mendorong pemikiran yang lebih kritis terhadap agenda pemilu.
Profesor Edward Aspinall, Kepala Department of Political and Social Change di ANU, menambahkan bahwa persaingan dalam perdebatan kebijakan masih minim di Indonesia. Menurutnya, pemilih Indonesia cenderung lebih fokus pada identitas partai, apakah partai tersebut berbasis Islam atau non-Islam. Sementara itu, di Australia, perbedaan utama antara partai-partai politik terletak pada kebijakan ekonomi mereka.
Partai LNP, yang berhaluan kanan, umumnya mengusung kebijakan penurunan pajak dengan konsekuensi pengurangan tunjangan sosial. Sebaliknya, Partai Buruh, yang berhaluan kiri, cenderung menetapkan pajak yang lebih tinggi untuk membiayai program bantuan sosial yang lebih luas.
Tingkat Toleransi dan Partisipasi Pemilih
Profesor Aspinall juga menyoroti perbedaan sikap masyarakat Australia dan Indonesia terhadap politisi. Menurutnya, tingkat kepuasan terhadap lembaga pemerintahan di Indonesia cenderung lebih tinggi, yang mungkin disebabkan oleh kecenderungan masyarakat Indonesia untuk lebih memaafkan dan menerima pemimpin mereka.
Di Australia, sinisme terhadap politisi cukup meluas. Jika sebuah partai ingkar janji setelah terpilih, masyarakat cenderung bereaksi keras dan menghukum partai tersebut dalam survei politik. Profesor Aspinall mencontohkan kasus mantan Perdana Menteri Tony Abbott yang kehilangan dukungan publik karena melanggar janjinya untuk tidak memotong anggaran pendidikan dan kesehatan.
Namun, baik di Australia maupun di Indonesia, para kandidat menghadapi tantangan yang sama dalam menjangkau masyarakat yang tidak peduli terhadap politik. Selalu ada kelompok masyarakat yang kurang terdidik atau kurang memiliki pengalaman untuk memahami dunia politik.
Dari segi partisipasi pemilu, Indonesia mencatat jumlah pemilih yang lebih besar pada pemilu 2024, yaitu mencapai 204,8 juta orang. Sementara itu, jumlah warga Australia yang memenuhi syarat untuk memilih pada 31 Desember 2024 adalah 18,3 juta orang.
Australia mewajibkan warganya untuk memilih dan mengenakan denda bagi mereka yang tidak berpartisipasi. Kebijakan ini memaksa warga yang "alergi politik" untuk terlibat dalam proses demokrasi.