Eskalasi Tarif Impor AS: Analisis Dampak 'Perang Dagang' Trump Terhadap Perekonomian Indonesia
Membedah 'Perang Dagang' Donald Trump dan Proyeksi Dampaknya pada Ekonomi Indonesia
Pengumuman kenaikan tarif impor oleh Presiden Donald Trump pada awal April 2025 lalu, langsung memicu reaksi global dan memunculkan kembali istilah yang akrab di telinga para ekonom: 'perang dagang'. Strategi kebijakan ekonomi yang kontroversial ini, meski tampak abstrak, memiliki konsekuensi riil yang dapat dirasakan hingga ke pelosok negeri, termasuk Indonesia.
Memahami Konsep 'Perang Dagang'
Perang dagang, dalam definisi sederhananya, adalah sebuah konflik ekonomi antara dua negara atau lebih yang melibatkan serangkaian tindakan proteksionis yang saling membalas. Tindakan ini biasanya berupa:
- Peningkatan tarif impor secara signifikan.
- Penerapan kuota impor yang membatasi jumlah barang yang dapat masuk ke suatu negara.
- Pembatasan investasi asing.
Inti dari perang dagang adalah upaya suatu negara untuk melindungi industri dalam negerinya dari persaingan asing yang dianggap tidak sehat. Langkah ini seringkali diawali dengan keluhan tentang praktik perdagangan yang tidak adil atau dugaan dumping (penjualan barang di bawah harga pasar). Untuk melindungi produsen lokal, pemerintah kemudian memberlakukan tarif atau kuota impor, yang pada gilirannya dapat memicu pembalasan serupa dari negara lain, menciptakan lingkaran eskalasi yang merugikan semua pihak.
Akar Masalah: Mengapa AS Menerapkan Tarif?
Kebijakan tarif yang diterapkan AS terhadap lebih dari 180 negara, termasuk Indonesia (dengan tarif 32%), tidak muncul begitu saja. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) dalam laporannya menganalisis bahwa langkah ini dipicu oleh beberapa faktor utama:
- Menurunnya daya saing industri AS: Industri Amerika Serikat dinilai kalah bersaing dengan negara lain dalam beberapa sektor.
- Ketimpangan ekonomi yang meningkat: Kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin semakin lebar.
- Kurangnya lapangan kerja: Pertumbuhan ekonomi tidak sebanding dengan penciptaan lapangan kerja baru.
- Masalah ekonomi domestik lainnya: Berbagai isu ekonomi internal AS turut mendorong kebijakan proteksionisme.
Dampak Moderat, Namun Tetap Waspada: Proyeksi Pengaruh Perang Dagang terhadap Indonesia
Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) berpendapat bahwa dampak langsung perang dagang terhadap Indonesia mungkin tidak separah negara lain seperti Vietnam atau Thailand. Pasalnya, ekspor Indonesia ke AS hanya menyumbang sekitar 10,3-10,5% dari total ekspor. Namun, bukan berarti Indonesia bisa sepenuhnya abai. Beberapa sektor yang berpotensi terkena dampak antara lain:
- Tekstil
- Alas kaki
- Garmen
- Minyak kelapa sawit (palm oil)
Ekonom Senior INDEF, Fadhil Hasan, menyoroti potensi depresiasi rupiah sebagai risiko utama. Ketidakpastian global akibat perang dagang dapat memicu inflasi, memaksa bank sentral AS (The Fed) untuk menaikkan suku bunga. Hal ini dapat menyebabkan capital outflow (arus modal keluar) dari negara berkembang seperti Indonesia, yang berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah dan mengganggu stabilitas makroekonomi.
Tauhid Ahmad, Ekonom Senior INDEF lainnya, menjelaskan bahwa dampak langsung yang akan dirasakan adalah penurunan nilai ekspor dan produksi barang berbasis ekspor. Contohnya, produk sepatu olahraga yang banyak diekspor ke AS akan mengalami penurunan permintaan akibat kenaikan harga. Kondisi ini memaksa pabrik untuk melakukan efisiensi, yang bisa berujung pada konsekuensi yang tidak diinginkan.
Pasar ekspor Indonesia ke China juga berpotensi terpengaruh. Mengingat China juga menjadi target tarif impor AS, ekonom INDEF memprediksi penurunan pertumbuhan ekonomi China yang pada gilirannya akan mengurangi permintaan terhadap produk-produk Indonesia.
Efek domino lainnya yang perlu diwaspadai adalah potensi terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), terpuruknya sektor padat karya, dan penurunan kinerja industri otomotif dalam negeri.
Oleh karena itu, meskipun dampak langsung perang dagang terhadap Indonesia diperkirakan moderat, pemerintah dan pelaku usaha perlu tetap waspada dan mengambil langkah-langkah mitigasi yang tepat untuk meminimalkan risiko dan menjaga stabilitas ekonomi nasional.