Goldman Sachs Revisi Turun Proyeksi Ekonomi China Akibat Perang Tarif AS

Perang Tarif Trump Hantui Prospek Ekonomi China, Goldman Sachs Pangkas Proyeksi Pertumbuhan

Goldman Sachs, bank investasi terkemuka asal Amerika Serikat, merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi China, mengindikasikan dampak signifikan dari kebijakan tarif yang diterapkan oleh mantan Presiden AS, Donald Trump. Revisi ini mencerminkan kekhawatiran mendalam atas tensi perdagangan yang berkepanjangan antara dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini.

Dalam laporan terbarunya, Goldman Sachs memproyeksikan pertumbuhan ekonomi China akan melambat menjadi 4% pada tahun 2025 dan terus menyusut menjadi 3,5% pada tahun 2026. Proyeksi ini lebih rendah dari perkiraan sebelumnya, yaitu 4,5% untuk tahun 2025 dan 4,0% untuk tahun 2026. Penurunan ini secara langsung dikaitkan dengan dampak tarif impor yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump. Kenaikan tarif secara signifikan akan membebani ekonomi Tiongkok dan pasar tenaga kerjanya.

Dampak Kenaikan Tarif Impor

Trump telah meningkatkan tarif impor barang-barang dari China sebesar 125%, melonjak tajam dari angka sebelumnya yang sebesar 104%. Langkah agresif ini merupakan upaya untuk menekan China dalam isu-isu perdagangan dan kekayaan intelektual. Sebagai respons, China tidak tinggal diam dan memberlakukan tarif balasan terhadap barang-barang impor dari AS sebesar 84%, naik signifikan dari tarif sebelumnya yang berada di angka 34%. Eskalasi perang tarif ini menciptakan ketidakpastian yang signifikan dalam perdagangan global dan memperlambat pertumbuhan ekonomi kedua negara.

Analis Goldman Sachs memperingatkan bahwa meskipun dampak dari kenaikan tarif tambahan mungkin semakin berkurang secara marjinal, eskalasi substansial tarif AS terhadap Tiongkok diperkirakan akan membebani ekonomi dan pasar tenaga kerja Tiongkok secara signifikan.

Implikasi Global

Perlambatan ekonomi China memiliki implikasi global yang luas. China merupakan mesin pertumbuhan utama bagi ekonomi dunia, dan penurunan kinerjanya dapat memicu efek domino yang merugikan negara-negara lain, terutama yang memiliki hubungan perdagangan yang erat dengan China. Negara-negara pengekspor komoditas, misalnya, dapat merasakan dampak negatif dari penurunan permintaan China.

Selain itu, perang tarif antara AS dan China juga menciptakan ketidakpastian bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di kedua negara. Banyak perusahaan yang harus meninjau kembali rantai pasokan mereka dan mencari alternatif sumber produksi untuk menghindari dampak tarif. Investasi asing juga dapat terpengaruh oleh ketidakpastian ini. Risiko resesi global semakin meningkat akibat tensi ekonomi ini.

Tantangan dan Prospek China

Ekonomi China menghadapi berbagai tantangan selain perang tarif. Utang yang tinggi, pasar properti yang lesu, dan populasi yang menua adalah beberapa faktor lain yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi China di masa depan. Pemerintah China perlu mengambil langkah-langkah yang komprehensif untuk mengatasi tantangan-tantangan ini dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan stimulus fiskal, reformasi struktural, dan inovasi teknologi adalah beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemerintah China untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Meskipun menghadapi tantangan yang berat, ekonomi China juga memiliki potensi yang besar. China memiliki pasar domestik yang besar dan berkembang pesat, tenaga kerja yang terampil, dan infrastruktur yang modern. Dengan kebijakan yang tepat, China dapat mengatasi tantangan-tantangan yang ada dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di masa depan.

Namun, dampak jangka panjang dari perang tarif terhadap ekonomi China masih belum pasti. Jika perang tarif terus berlanjut, dampaknya dapat menjadi lebih parah dan memperlambat pertumbuhan ekonomi China secara signifikan. Penting bagi kedua negara untuk mencari solusi diplomatik untuk menyelesaikan sengketa perdagangan mereka dan menghindari eskalasi perang tarif yang lebih lanjut.