Trump Tunda Tarif Impor ke Sejumlah Negara, Prioritaskan Pertempuran Dagang dengan China

Gedung Putih Menunda Kenaikan Tarif Impor, Fokus pada Perseteruan Dagang dengan Tiongkok

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengambil langkah mengejutkan dengan menunda implementasi tarif impor tinggi terhadap sejumlah negara. Keputusan ini mengindikasikan pergeseran fokus pemerintahan Trump dalam perang dagang global, dengan menempatkan Tiongkok sebagai prioritas utama.

Langkah ini diambil di tengah meningkatnya kekhawatiran mengenai dampak negatif perang dagang terhadap ekonomi Amerika Serikat dan global. Trump sebelumnya menaikkan tarif impor barang-barang asal Tiongkok menjadi 125%, dari 104% pada Rabu, 9 April 2025. Kenaikan tarif ini semakin memperuncing ketegangan antara kedua negara.

Menurut laporan Reuters, penundaan tarif ini dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan dari berbagai pihak terhadap pengenaan tarif tinggi kepada mitra dagang AS. Kebijakan tersebut dinilai memicu keluarnya modal asing dalam jumlah besar, yang berdampak pada penurunan imbal hasil obligasi pemerintah AS. Trump mengakui adanya reaksi negatif terhadap kebijakan tarifnya, yang memicu pertimbangan ulang.

"Saya pikir orang-orang mulai keluar jalur, mereka mulai marah," ujar Trump, seperti dikutip dari Reuters, Kamis (10/4/2025).

Reaksi Internasional dan Respon Tiongkok

Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, menyambut baik penundaan tarif selama 90 hari. Dia berharap penundaan ini dapat membuka jalan bagi negosiasi yang konstruktif. Pengumuman ini memberikan angin segar bagi pasar global, terlihat dari penguatan indeks saham AS setelah pengumuman tersebut.

Pemerintah Tiongkok menyatakan kesiapannya untuk menghadapi tarif yang diberlakukan oleh Trump hingga akhir. Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, He Yongqian, menegaskan bahwa pihaknya tetap membuka ruang untuk negosiasi, namun dengan syarat saling menghormati.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, juga mengkritik kebijakan tarif Trump, dengan menyatakan bahwa kebijakan tersebut tidak mendapat dukungan dari rakyat AS. "Perjuangan AS tidak akan mendapat dukungan rakyat dan akan berakhir dengan kegagalan," tegas Lin Jian.

Reuters melaporkan bahwa Tiongkok kemungkinan akan kembali membalas tindakan AS. Sebelumnya, Tiongkok telah memberlakukan tarif impor terhadap produk AS sebesar 84% sebagai respons terhadap tarif 104% yang dikenakan oleh Trump.

Pengecualian dan Dampak yang Tersisa

Meski ada penundaan, beberapa tarif tetap berlaku. Bea masuk menyeluruh sebesar 10% terhadap hampir semua impor AS masih akan diterapkan. Selain itu, penundaan ini tidak mempengaruhi bea masuk terhadap otomotif, baja, dan aluminium yang telah berlaku sebelumnya.

Penghentian sementara ini juga tidak berlaku untuk bea masuk yang dibayarkan oleh Kanada dan Meksiko. Barang-barang dari kedua negara tersebut masih dikenakan tarif terkait fentanil sebesar 25% jika tidak mematuhi aturan asal perjanjian perdagangan AS-Meksiko-Kanada (USMCA).

Sentimen Pasar dan Pandangan Ahli

Pembuat kebijakan Bank Sentral Eropa (ECB), Francois Villeroy de Galhau, menilai bahwa penundaan tarif impor Trump merupakan sentimen positif bagi pasar. Namun, ia mengingatkan bahwa ketidakpastian, ancaman terhadap kepercayaan investor, dan pertumbuhan ekonomi masih tetap ada.

"Berita yang tidak terlalu buruk dibandingkan sebelumnya," kata Galhau.

Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menjelaskan bahwa perubahan penetapan tarif terhadap mitra dagang AS sebelumnya telah direncanakan sejak awal bagi pihak-pihak yang bersedia bernegosiasi. Namun, Trump mengindikasikan bahwa kepanikan di pasar sejak pengumumannya pada 2 April menjadi faktor dalam keputusannya.

"Anda harus fleksibel," kata Bessent, menekankan perlunya adaptasi dalam menghadapi dinamika pasar.

Keputusan Trump untuk menunda tarif impor ke sejumlah negara menunjukkan kompleksitas dan dinamika dalam kebijakan perdagangan internasional. Pergeseran fokus ke perang dagang dengan Tiongkok mengindikasikan tekad pemerintahan Trump untuk menghadapi tantangan ekonomi dari negara tersebut, namun juga menimbulkan pertanyaan mengenai dampak jangka panjang terhadap hubungan perdagangan global.