Dilema Sopir Ambulans: Terjebak ETLE Saat Antar Pasien Darurat, Prioritas Pelayanan Terancam?

Ambulans Pembawa Maut, Dilema Pelanggaran Lalu Lintas Demi Nyawa

Kasus Febryan (30), seorang sopir ambulans di Jakarta, menjadi sorotan tajam terkait penerapan Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) atau tilang elektronik. Kejadian yang menimpanya pada Jumat, 21 Maret 2025, di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat, membuka diskusi mengenai prioritas pelayanan darurat dan fleksibilitas hukum.

Febryan, yang saat itu bertugas membawa pasien rujukan dari Rumah Sakit Hermina Daan Mogot ke Rumah Sakit Pelni, mendapati dirinya terkena tilang ETLE. Pelanggaran yang dituduhkan beragam, mulai dari menerobos lampu merah, melintasi jalur busway, hingga tidak menggunakan sabuk pengaman. Ironisnya, tindakan-tindakan tersebut dilakukan demi mempercepat proses transfer pasien yang membutuhkan penanganan segera.

"Pas saya buka, nomor polisinya diblokir," ujar Febryan. Dia menjelaskan bahwa ambulans yang dikemudikannya berstatus kendaraan sipil di bawah naungan PT Febryan Wirasejahtera Indonesia, meskipun telah mengantongi izin operasional. Pemberitahuan tilang ETLE yang diterimanya membuatnya terkejut dan khawatir.

Setelah berkonsultasi dengan seorang teman polisi, Febryan disarankan untuk mengajukan keberatan ke Polda Metro Jaya. Menurut penjelasan temannya, sistem ETLE bekerja secara otomatis dan tanpa pandang bulu, sehingga potensi kesalahan identifikasi atau kurangnya pertimbangan terhadap situasi darurat sangat mungkin terjadi.

Prosedur Keberatan yang Berlarut-larut dan Dampak Bagi Pelayanan

Febryan telah mengajukan keberatan, namun hingga kini belum menerima respons yang memuaskan. Status blokir pada nomor polisi ambulansnya masih berlaku, meski ia tetap beroperasi. Ketidakpastian ini menimbulkan kekhawatiran besar, terutama karena bukan kali pertama ia mengalami kejadian serupa.

Keresahan Febryan bukan tanpa alasan. Banyak rekan seprofesinya juga mengalami hal yang sama. Penerapan ETLE yang kaku tanpa mempertimbangkan urgensi medis dapat menghambat pelayanan ambulans secara keseluruhan. "Mau kami terobos lampu merah, busway, tetap ada pelanggaran bertambah. Kan sudah prioritas juga. Kami kalau bawa pasien emergency, masa mau berhenti? Kan lucu," ungkapnya dengan nada frustrasi.

Kasus Febryan ini memicu pertanyaan mendasar: bagaimana seharusnya sistem hukum menyeimbangkan antara penegakan aturan lalu lintas dan kebutuhan mendesak dalam situasi darurat medis? Apakah perlu ada pengecualian atau mekanisme khusus bagi kendaraan ambulans yang sedang bertugas?

Pemerintah dan pihak kepolisian perlu meninjau kembali penerapan ETLE, khususnya terkait kendaraan prioritas seperti ambulans. Sosialisasi yang lebih baik kepada petugas di lapangan dan penyediaan mekanisme pengajuan keberatan yang cepat dan efektif menjadi krusial.

Solusi dan Kebijakan yang Diperlukan

Berikut beberapa solusi yang mungkin bisa dipertimbangkan:

  • Prioritas Ambulans: Memberikan prioritas yang jelas kepada ambulans yang membawa pasien dalam keadaan darurat.
  • Koordinasi: Meningkatkan koordinasi antara pihak kepolisian dan penyedia layanan ambulans.
  • Mekanisme Pengajuan Keberatan: Menyederhanakan mekanisme pengajuan keberatan atas tilang ETLE bagi ambulans.
  • Teknologi: Mengembangkan teknologi yang dapat membedakan antara pelanggaran lalu lintas biasa dan tindakan yang dilakukan dalam keadaan darurat.

Kasus Febryan adalah sebuah alarm bagi kita semua. Jangan sampai ketegasan hukum justru mengorbankan nyawa manusia. Prioritas utama tetaplah menyelamatkan jiwa, dan sistem hukum seharusnya mendukung upaya tersebut, bukan menghalanginya.